11. Ketemu Lagi

380 46 44
                                    

"Shiren baik?"

"Baik, Kek."

"Dia gak sakit-sakitan lagi kan? Jantungnya gak kumat?"

"Sudah Sena minta Mbak Aminah dan Mbak Dini ngawasi Shiren, Nek."

"Keluarga Pak Kyai, sayang sama Shiren kan? Maksudnya kalau Shiren kenapa-kenapa mereka tanggap?"

"Setahu Sena, Kakek Kyai dan Nenek Nyai orangnya selalu memperlakukan semua santri dan ustazah dengan baik. Abah Abri dan Umi Keena juga," jawab Sena sambil memijiti kaki kakeknya sementara Ning Ainun, istri Gus Shahrul, kakak sepupu Sena memijiti sang nenek.

"Mereka opo gak sayang sama, Shiren? Kan anaknya cantik, pinter? Dapat perlakuan khusus kan?"

Sena tersenyum lalu menggeleng.

"Ck! Padahal Shiren ayu, mosok gak ono sing suka? Tapi ... Mereka gak memforsir tenaga Shiren kan?" tanya Kyai Toha.

"Mboten Kek, setahu Sena, Umi Shakeena hanya memberi jatah mengajar dua belas jam buat Shiren, untuk urusan ngaji juga hanya setiap rabu dan kamis, Shiren juga gak diperbolehin membantu urusan ndalem. Itu yang Sena tahu, tinggal Shirennya mau manut apa enggak."

"Duh! Nenek jadi khawatir. Shiren kan ringkih (mudah sakit). Apa kamu balik ke Al Hikam saja? Awasi Shiren."

Sena tersenyum, dia menatap sang nenek lalu kembali fokus memijit kaki sang kakek.

"Sena fokus di An-Nur, Nek. Kasihan Abah sama Umi, gak ada yang bantu. Akmal masih sekolah. Kakek Furqon dan Nenek Hilya juga sudah sepuh. Gak boleh capek-capek. Sena yang ngatur urusan sekolah dan pondok, Abah sama Umi yang urusan yang kemana-mana, Kakek Furqon dan Nenek Hilya masih ngajar yang tingkatan lebih tinggi. Gak boleh capek juga. Jadi urusan lain, Sena yang ambil alih."

Sena menatap kepada kakek dan neneknya dari garis ibu.

"Shiren gak mau di An-Nur, di Miftahul Huda juga gak mau. Kalau saja Shiren mau, Sena gak bakalan bingung."

Sena menatap pada kedua kakek dan neneknya.

"Sena, Abah dan Umi udah gak digubris omongannya. Shiren gak mau menerima masukan kami, mungkin Kakek dan Nenek bisa ngomongin Shiren?"

"Kalau kami sanggup kami ya gak bingung, Nduk," lirih Kyai Toha.

"Kakekmu benar. Nenek sama kakek juga bingung. Pakdhe, Budhe kamu sama Shahrul juga omongannya gak digubris sama Shiren. Dengan cara apalagi kita kudu ngomongin Shiren. Keras kepalanya masya Allah. Gak tahu niru siapa. Kalau jantungnya gak lemah. Kita gak bingung. Gak bakalan was-was. Tapi kan? Tahu sendiri kondisi Shiren gimana," lirih Bu Nyai Zuhro.

Keheningan kini menyelimuti semua orang. Ning Ainun yang dasarnya juga pendiam, lebih banyak diam dan mendengarkan obrolan antara cucu dan kakek nenek. Pukul sembilan malam, Kyai Toha dan sang istri pamit untuk istirahat.

Sena segera keluar dari kamar kakek neneknya diikuti oleh Ning Ainun. Mereka pun sampai di ruang tengah. Sena pamit pada Ning Ainun, mau ke kamar tamu. Namun langkahnya terhenti karena panggilan Ning Ainun.

"Se."

"Ya Mbak."

"Sabar ya? Allah akan mengganti semuanya. Percayalah."

Ning Ainun menatap Sena dengan tatapan sendu, Sena hanya membalas dengan senyuman. Mereka pun akhirnya berpisah. Sena menuju ke kamar tamu sementara Ning Ainun ke kamarnya. Dia akan menunggu sang suami pulang di kamar saja. Gus Shahrul masih berpergian bersama kedua mertuanya.

Sampai di kamar, Sena segera membersihkan diri, mengganti gamis dengan baju tidur model celana panjang dan kaos panjang, serta membiarkan rambutnya yang sepinggang terurai. Dia pun segera merebahkan diri. Setelah rebahan, Sena tak langsung tidur. Sena terlihat tiduran namun matanya menerawang ke langit-langit kamar.

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang