10. Cuek

413 46 71
                                    

Shiren sedang duduk di depan teras kamarnya. Dia menatap ke sekeliling. Asrama memang sangat ramai, hanya saja dia merasa sendirian. Terkadang Shiren jenuh dengan aktivitasnya yang hanya ngaji, mengajar, ngaji lagi dan mengajar lagi. Tak ada kegiatan lainnya. Beberapa kali dia memang menghabiskan waktu di ndalem untuk ikut membantu Mbak Aminah atau mbak khadamah yang lain, namun berakhir dia sakit sehingga sekarang dia dilarang membantu di ndalem. Kali ini Nenek Nyai yang memberikan ultimatum setelah sebelumnya dia nekat melanggar larangan Umi Shakeena dan menyebabkan dia pingsan. Mana pas pingsan, orang yang diharapkan menggendongnya kabur, malah orang lain alias si Aji yang disuruh gendong Shiren. Kan kesel Shirennya.

Shiren menatap ponselnya, dia ingin sekali menghubungi sang kakak sepupu. Sayang, hari ini sang kakak sedang ada acara di salah satu kampus di Purworejo dan dia sebagai moderator. Jadi Shiren yakin, ponsel sang kakak saat ini pasti tidak akan digubris. Dan tersimpan rapi di tas.

"Mbak Shiren!" Suara Aminah terdengar. Shiren menoleh lalu tersenyum.

"Udah beli makan buat ntar malam?"

"Belum."

"Mau beli gak?"

"Boleh."

"Ayok."

Shiren, Aminah serta beberapa santri senior menuju ke luar pondok untuk mencari makanan. Beruntung di sekitaran pondok diijinkan pedagang masuk dari pukul tiga sampai lima sore. Meski begitu setiap orang yang memasuki area pondok harus ijin ke bagian gerbang utama dan mendapat kartu tanda masuk dulu baru bisa berjualan. Lokasi berjualan pun adalah depan kompleks pondok putra dan putri.

"Gimana? Ada yang mau?" tanya Aminah saat dilihatnya Shiren hanya diam saja. Padahal dia dan teman yang lain sudah menenteng kresek berisi makanan.

Shiren menatap Aminah lalu menggeleng.

"Mau ke luar area pondok?" tawar Aminah.

"Boleh."

"Din, nitip makananku ya, aku antar Mbak Shiren dulu."

Santri senior bernama Dini mengangguk. Shiren dan Aminah keluar area pondok. Kini mereka menuju warung-warung yang berada tak jauh dari pondok. Lagi-lagi, Shiren tak berselera. Dia hanya memandangi warung terdekat terakhir dengan tatapan enggan.

"Gimana?"

Shiren lagi-lagi menggeleng. Aminah hanya bisa menghembuskan napasnya. Ada rasa kesal juga, kalau setiap hari harus mengurusi masalah makan si gadis manja di sebelahnya ini. Terkadang Aminah heran, Sena dan Shiren. Sama-sama Ning, sama-sama anak mami, tapi Sena beda sekali dengan sepupunya. Sena itu anaknya gak banyak tingkah, makan pun tidak mriyayi meski punya darah priyayi. Sena cenderung suka makan jatah dari pondok. Kalau mau lauk beda, cukup mlipir di depan pondok, ketemu. Mana eman lagi, suka berbagi. Tubuh subur Aminah selain bawaan dari lahir adalah berkat kasih sayang dan pemberian makanan dari Sena. Tapi jatah dari orang tua dan bu nyai tercinta juga sih.

"Kamu mau apa Ning? Kalau selain di area kawasan pondok dan sekitarnya, saya bisa bantu nemenin. Tapi kalau sudah di luar, misalnya Rocket Chicken, Sa'i, Super Sambel, Warung Stick, ya saya nyerah."

Aminah menegaskan kata 'ning' dan 'saya' dengan harapan Shiren tidak makin menjadi dan minta mencari makanan yang aneh-aneh. Bahkan yang paling susah, kalau Shiren sampai sakit, karena Aminah pulalah yang bakalan repot.

"Sama sate aja lah, Mbak. Yang di depan pondok."

"Oh, tapi bakalan dimakan kan?"

Shiren menangangguk. Dia berjalan dengan gontai menuju ke penjual sate depan pondok. Sesekali mengedarkan tatapan berharap ketemu seseorang.

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang