Tiba-tiba Varo teringat kalau motor Lintang sudah dijual, jadi dengan apakah cowok itu mengantar Abel? Buru-buru Varo berlari ke luar ruangan untuk meneriakki Lintang.
"Lintang, pake motor gue aja!" Varo menyodorkan kunci motornya pada Lintang, membuat Lintang tersadar lalu menunduk lesu. Varo berdecak, cowok ini mulai drama lagi.
"Dah, nangis mulu lo kayak bocil."
Lintang mengusap embun di matanya kasar. "Lo kagak tau rasanya kehilangan barang kesayangan."
"Yee gini-gini gue juga pernah kehilangan."
"Napa sih kalian? Lintang napa lo, kok nangis?" ujar Abel penasaran, pasalnya Lintang yang biasanya terlihat keren, macho, apalagi suka balapan itu mendadak terlihat sangat mellow.
"Motornya dijual, padahal dia dah anggep kayak anak sendiri itu."
Abel tertawa sambil berkacak pinggang. "Ada-ada aja lo pada, dah ah, pulang yuk Tang. Jadi kan lo anter gue?"
"Jadi,"
Varo menganguk. "Tiati." Katanya ditanggapi deheman oleh sang empu. Mereka pun berjalan keluar dari rumah sakit menuju parkiran di mana motor Varo terparkir.
"Emang kenapa Tang, kok dijual?" di sela-sela perjalanan ke parkir rumah sakit, Abel bertanya, membuat langkah Lintang di depannya jadi terhenti.
"Bokap gue tau gue balapan tadi malem,"
"Salah satu hal yang diwajarkan orang-orang dan diikuti banyak kalangan, padahal bikin susah hidup, aneh emang manusia, mana gue juga manusia." Abel berjalan cepat melewati Lintang yang terpaku seolah memikirkan sesuatu.
"Kata Aksa lo peri."
Hanya itu yang Abel dengar, kalimat yang berhasil membuatnya tidak bisa melangkah dan berakhir dilewati Lintang. Abel menggulum senyum, sungguh apakah Aksa pernah mengatakan itu pada orang lain, Lintang salah satunya? Jika iya Abel sangat bahagia, setidaknya itu membuat ia akan lebih semangat memulai hari esok, meski Aksa belum sadar dan mereka belum berbicara. Abel tahu cowok itu juga pasti sedang merindukannya dalam mimpi. Gadis itu membuyarkan lamunannya karena langkah Lintang semakin jauh, alhasil ia harus berlari untuk mensejajarkannya.
Tak lama mereka sudah tiba di sebuah rumah bergaya minimalis. Rumah Abel yang tampak sepi, entah ke mana perginya orang rumah. Gadis itu turun dari jok motor kemudian menyerahkan helm pada Lintang.
"Makasih ya, Tang. Jagain Aksa ya."
Lintang mengangguk, membuat helm di kepalanya bergoyang.
"Pasti, gue pulang, dah!" Abel terdiam melihat motor Lintang yang sudah jauh, dirinya mulai memasuki area gerbang, tampak Chiko yang bermain bersama Eren di teras rumah.
"Baru pulang, Abel?" tanya Chiko.
Abel mengangguk malas kemudian duduk di kursi panjang teras itu, menyandarkan punggung ke sana lalu menghembuskan napas panjang seolah baru mengalami hari yang buruk.
"Siapa cowok itu? Sepertinya dia bukan Aksa,"
"Bukan, dia Lintang temennya Aksa."
"Lalu, kenapa bukan Aksa yang mengantarkanmu pulang? Seperti waktu itu bersama Bapak-bapak. "
Abel ingin tertawa saat Chiko menyebut Pak Sodirin bapak-bapak meski kenyataannya memang Pak Sodirin itu bapak-bapak. Namun saat ini bukanlah hal yang tepat, Chiko bertanya tentang Aksa, dan itu membuat Abel sedikit sedih.
"Aksa lagi sakit."
"Sakit, kok bisa?"
Gadis berkacamata itu mengangkat bahu tak tahu.
![](https://img.wattpad.com/cover/345048509-288-k314508.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable | End
Подростковая литератураIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...