3. Chiko

36 4 1
                                    

Lembayung telah terlihat tepat usai motor milik Rakha tiba di depan sebuah rumah bergaya minimalis. Cowok itu mengedarkan pandangan ke arah rumah yang tampak tertutup di depannya. Terlihat sangat nyaman dan rapi, tak heran, Rakha tahu kalau Shana itu sangat amat menjaga diri serta kebersihan. Bahkan sekarang ia masih dapat mencium aroma parfum vanila yang Shana kenakan.

"Shan ..." panggilnya, tapi tidak terdengar sahutan apa pun.

Rakha melirik ke spion, di sana terlihat Shana tampak tertidur sambil bersandar pada punggungnya. Posisi Shana yang miring membuat Rakha takut bila nanti cewek itu akan jatuh.

"Shan, Shana?" Rakha mencoba memanggil dan menguncang lengannya, gadis itu masih bergeming.

"Shan, badan lo panas."

"Eum ..." rupayanya Shana cukup terusik oleh suara Rakha, dia langsung tersadar seperkian detik saat Rakha kembali akan menguncang lengannya.

"Shan?"

"Eh, astaga," tanpa perhitungan gadis itu turun dari motor, menatap sekeliling area rumahnya yang terlihat sepi.

"Hati-hati, untung nggak jatuh." Ucap Rakha mengelus dada. Bisa bahaya kalau Shana jatuh, sepertinya gadis itu juga sedang tidak enak badan.

"Lo nganter gue sampe rumah?"

Rakha sempat bingung akan pertanyaan itu.

"Bukannya lo yang minta kita buat langsung pulang aja, nggak usah neduh?"

Shana menunjukan ekspresi kaget. Ia menggaruk rambutnya yang lepek terkena hujan. Gadis itu baru menyadari jika tadi ia tertidur di punggung Rakha.

"Maaf ya Ka, tadi gue main tidur aja di punggung lo, pasti lo keganggu ya?"

"Nggak kok, santai aja. Yaudah sana masuk ntar dicariin." Rakha tersenyum. Mau tak mau Shana harus membalasnya. Tapi balasan Shana sedikit terpaksa, pasalnya ia tidak sengaja menjadikan Rakha sebagai bantalan kepalanya. Ia kan malu.

"Gue masuk duluan ya, makasih dan ... maaf karena tadi."

"Sama-sama, gue juga pamit. Oh iya, jangan lupa minum obat, badan lo panas." Shana mengangguk singkat. Ia melangkahkan kaki ke arah teras rumah, sebelum benar-benar masuk dirinya kembali dikejutkan dengan suara Rakha yang memanggilnya. Ia pun menoleh.

"Sampai ketemu di sekolah ya," setelah mengucapkan itu motor Rakha pun menjauh hingga tak terlihat lagi, tapi Shana masih mematung di depan pintu seolah mereka janggal dengan ucapan itu.

Selama dua tahun Shana memang tidak pernah akrab dengan Rakha. Meski berada di dalam satu kelas bersama, bahkan tak jarang pula mereka melakukan rapat bersama guru atau bertemu ketika mendapat perhargaan di depan podium dan disaksikan banyak orang, tak membuat keduanya saling bertukar sapa. Banyak orang beranggapan kalau Shana dan Rakha itu rival, secara keduanya tidak pernah menduduki peringkat di bawah dua.

Banyak juga yang mengira kalau Rakha tipe cowok yang cuek dan tidak peka, mungkin mereka menilai itu dari segi wajah. Dari tampilan Rakha memang bisa dibilang menarik perhatian. Tak heran banyak yang naksir pada cowok itu. Shana bingung, hari ini cowok itu begitu manis dan penuh perhatian. Berbeda 180 derajat dari yang ia temui di banyaknya pertemuan sekolah.

"Assalamu'alaikum ..." Shana masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu terlihat sang ibu sedang duduk santai menonton televisi.

"Wa'alaikumussalam, baru pulang?"

"Iya," Shana menyalimi tangan ibunya, sang ibu malah mengarahkan fokus pada jaket yang bertengger di tangan kirinya.

"Itu jaket siapa? Kayaknya kamu nggak punya jaket modelan gitu."

Ineffable |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang