47. Tuduhan

15 3 2
                                    

"Jadi kapan, Var? Lo mau manggung lagi, dah lama lo anggurin band kita bertiga."

"Iya Bang, tapi gue lagi bener-bener nggak bisa ikut manggung atau acara-acara kayak biasa."

"Kenapa sih? Ayolah Var, ikut lah, mayan kan dapet uang.  Apa lo mau kita bubar aja kalo gini caranya?"

"Eh, jangan dong Bang, kita udah susah payah lho bangun band ini sampe terkenal."

"Ya makanya Var, gue tunggu apa pun info dari lo, besok ada agenda manggung di caffe romantic moment, kalo lo mau band kita bubar pasti lo nggak bakal dateng."

"Tapi Bang ... "

Tut

Varo mendengus, membanting ponselnya ke arah ranjang lalu menjatuhkan tubuh ke sana. Tangannya meyangga kepala di atas bantal, menatap langit-langit kamar memikirkan ucapan seseorang dari balik ponsel tadi. Yang menelepon ialah Bang Zio, salah satu anggota band menyanyi-VarZiKo yang mengajak Varo manggung kembali.

Diacaknya rambut yang sudah kusut seperti tidak pernah disetrika, karena ya memang tidak pernah. Beberapa bulan belakangan ini ia tidak lagi ikut mereka berdua–Bang Zio dan Koko manggung, padahal ia adalah penyanyi utamanya.

Bukan tanpa alasan, Varo memang tidak ingin pulang ke kosan karena sudah terlanjur nyaman di rumah Aksa, sekaligus menjaga anak lemah itu dari anak buah Tian yang kini semakin berani menunjukkan diri. Kalau dipikir-pikir Aksa itu lemah, sangat lemah. Varo jadi ingat kisah Lintang saat SMP dulu. Katanya Aksa sering jadi sasaran bullyan. Wajar sih, dia saja polos gitu.

"Duhh ... apa gue manggung lagi ya?" Varo menggaruk rambutnya, berusaha berpikir keras.

"Tapi kalo gue manggung otomatis gue ikut Bang Zio sama Koko, ntar gimana Aksa?"

"Gue nggak yakin bocil itu bisa jaga Aksa." Yang dimaksud Varo adalah Lintang, ia menyebutnya bocil karena teringat di mana Lintang menangis karena anaknya dijual.

Tok

Tok

"Varo!! Var!"

"Naon?"

"Buka dulu!"

Varo bangkit, membuka pintu. Lintang langsung masuk tanpa aba-aba dan menyodorkan sesuatu ke arahnya. "Liat, kamera!"

"Ya terus?"

"Gue nemuin ini di tas Aksa, coba yuk periksa."

"Gue lagi pusing ah, males ..."

Tanpa aba-aba, Lintang dengan sekali sentak menyeret tangan Varo untuk mengikutinya ke kamar Aksa, kebetulan Bi Astri tidak mengunci kamar tersebut. Varo pasrah saja ketika Lintang membawanya ke meja belajar di mana ada laptop nganggur di sana.

Cowok itu membuka laptopnya kemudian menghubungkan dengan kamera di tangannya. Varo masih tidak peduli, malah terlihat berpangku tangan sambil mengkerlingkan mata ke sana-kemari.

"Eh, eh, apa tuh?" seru Varo saat tanpa sengaja melihat pemandangan di depan layar laptop.

"Ini ... koridor SMK Nirwana nggak sih?" tanya Lintang yang tidak direspon sang empu.

"Lho, ini kan rumah Aksa, eh, eh. Kok mati?" Lintang menggeser mouse di tangannya, mencari keberadaan video tadi yang hilang.  Namun tidak ada, tampak seperti hilang begitu saja.

"Lo tadi denger ada suara orang ngobrol, Var?"

Varo menoleh. "Denger, suara Pak Sodirin sama Aksa nggak sih?"

"Tadi juga keliatan koridor sekolah kan? Jadi, si anak buah Tian itu dateng ke SMK Nirwana? Wah, gawat!"

"Eh, masa sih, tau dari mana kalo itu SMK tempat Aksa sekolah? Lagian juga kan kabar Aksa udah hilang masa Tian tau cepet banget."

Ineffable |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang