41. Keributan Kecil

13 3 0
                                    

Aksa tidak mampu menjawab apa-apa, bahkan sekedar menggerakan matanya pun amat sulit. Namun dengan segala kekuatan yang ia punya, Aksa coba mengangkat tangannya meski gemetar, menunjuk ke arah jendela. Lintang yang paham buru-buru menengok ke sana, ia melihat seorang pria berpakaian hitam sedang memegang poster dan sebilah pisau.

"Woi!" Lintang berteriak, naasnya pria itu telah berlari menembus kegelapan malam. Lintang mengusap dahinya kasar. "Sial!"

"Sa, lo harus sadar, jangan tidur, Sa. Bangun!" Varo mengguncang tubuh sahabatnya memaksa ia untuk terus membuka mata.

Lintang menghampiri, ikut berjongkok dan menyentuh dahi Aksa. Keringat telah membanjiri sebagian besar kulit di sana.

"Sa liat gue, Sa. Liat gue!" Lintang memegang kepala Aksa, memaksa cowok itu menatap ke arahnya.

"Tarik napas, lo pasti bisa."

Aksa mencoba mengikuti instruksi Lintang, berulang kali ia menarik napas sedalam mungkin dan membuangnya. Tapi rasa sakit seolah mengalahkan segalanya. Aksa justru semakin terlihat lemah. Napasnya hampir habis bersama mata yang tak sadar.

"Sa, lo kuat Sa, lo nggak boleh kayak gini, lo harus kuat demi orangtua lo." Varo menimpali, bahkan air matanya sudah luruh ke lantai saking takutnya.

"Jangan diinget, bang*sat, semua bakal baik-baik aja. Mereka nggak akan bisa nyakitin lo!" Bentak Lintang tak tertahan, ia marah, marah karena Aksa sangat lemah untuk melawan kepanikannya.

"Sa! Buka mata lo!"

"Tang, panggil Bi Astri!" Teriak Varo gemetar, mimik wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Kali ini Varo tampak panik sekaligus bingung.

"Sa, lo harus kuat, lo nggak boleh gini. Inget kata Papa lo, Sa, lo anak yang mudah nyingkirin rasa sakit, buka mata lo, jangan tidur!"

"BI ASTRI!!" Lintang tak peduli ini sudah malam atau belum, yang ia pedulikan hanya keadaan Aksa saat ini.

Sepeninggal Lintang yang pergi mencari Bi Astri, Varo terus menguatkan Aksa meski hanya tersalurkan oleh kata-kata. Cowok itu memegangi telapak tangan Aksa, mengusapnya lembut.

"Maafin gue ... ini semua gara-gara gue ... maaf ..."  setitik air perlahan jatuh, lama-lama menjadi air hujan yang deras. Varo menangis sambil menggenggam tangan Aksa.

Aksa mengangkat wajah pelan-pelan.  Menerbitkan senyum kecil di antara kesadarannya. "Bu-bukan sa-salah lo,"

Seketika Varo melepas tangannya dari telapak tangan Aksa. Membulatkan matanya tidak percaya.

Gala?

"Mas Aksa! Astaghfirullahaladzim,  Mas Aksa kenapa bisa begini?!" Bi Astri berteriak histeris melihat kondisi majikannya dengan kaki yang penuh tetesan darah sampai membuat lantai berwarna merah.

Lintang ikut masuk ke dalam kamar usai menyuruh Pak Sodirin bangun dari tidurnya dan menyiapkan mobil secepat mungkin.

"Bi, tenang ya, Aksa pasti baik-baik aja. Kita bawa Aksa ke rumah sakit ya?"

Bi Astri menangis tersedu-sedu sembari memeluk cowok yang lemah itu dari samping. "Mas Aksa ..."

Aksa membuang napas hangat sebelum matanya terpejam rapat tanpa sedikitpun gerak. Menyadari kesadaran Aksa telah hilang sepenuhnya, Bi Astri lagi-lagi berteriak, tangisnya benar-benar kala itu.

"Aksa, Sa, bangun, Sa!" Teriakkan Lintang tak membuat keadaan terjeda. Pada dasarnya Aksa sudah lelap dalam tidurnya.

"Varo, bantuin Pak Sodirin, biar gue yang gotong Aksa ke dalam mobil."

Ineffable | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang