Shana lupa mengembalikan jaket Rakha padahal sudah lebih dari beberapa hari berada di rumahnya. Sebenarnya jaket itu sudah ia cuci bersih dengan pewangi beli dua gratis satu sejak kejadian Rakha mengantarkannya pulang. Tapi tetap saja otaknya pelupa. Jaket itu malah berakhir kembali di mesin cuci.
Untungnya hari ini Shana tidak lupa membawa jaket itu di tasnya. Dan ketika waktu pulang tiba, Shana berdiri di parkiran sambil menenteng plastik hitam yang isinya ialah jaket Rakha.
Dari jauh tampak cowok itu berjalan sambil menaikkan hoodie ke kepala. Shana yang melihatnya sebisa mungkin berusaha mengembangkan senyum. Kendati terlihat aneh karena terpaksa.
Rakha tiba di parkiran, posisi Shana yang berdiri di samping motornya membuat ia bisa sangat jelas melihat cewek itu.
"Shana, belum pulang?"
"Ini, gue mau balikin jaket lo," ujarnya terdengar datar.
Rakha tersenyum, Shana berucap ingin mengembalikan jaketnya, tapi plastik itu malah dia dekap dengan erat.
"Mana jaketnya?" tanya Rakha sambil terkekeh kecil.
Shana tersadar. "Eh, ini ... udah gue cuci bersih kok dua kali lagi."
"Iya deh, wanginya kecium kok dari pas gue masuk lab."
Shana menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Pipinya bersemu menahan malu. Kendati begitu ia harus tetap menjaga image. Shana mencoba berdehem mencairkan suasana.
"Kayaknya lo nggak dijemput, sama gue aja gimana?" tawar Rakha sambil naik ke motor, Shana terkesima melihat bagaimana cowok itu memberinya helm.
"Jangan heran kalo gue bawa helm selalu dua, soalnya yang minta bonceng banyak. Mana saudara semua jadi nggak bisa nolak."
Tanpa diberitahu pun Shana sudah paham, ia seringkali melihat Rakha berboncengan dengan seseorang. Khususnya perempuan. Dia bilang mereka saudara, semoga saja begitu. Shana harap mereka tidak punya perasaan lebih. Eh, kenapa dia malah memikirkan itu? Memang siapa dia mau melarang Rakha boncengan dengan siapa?
Shana jadi kesal sendiri, wajahnya berubah menjadi masam. Rakha yang melihat itu mengerutkan dahi. "Kenapa? Mau dinaikin?"
Tentu Shana terkejut, ia langsung saja menempatkan tubuh langsingnya di motor Rakha. Untuk kedua kalinya ia naik di atas kendaraan cowok yang cukup populer di kalangan para guru dan siswi sekolah. Tentu dengan perasaan yang berbeda.
♡♡♡♡
Keno sempat misuh-misuh pada Lintang yang tidak mengizinkan Aksa pergi ke rumah sakit. Siapa yang tidak marah melihat sahabatnya sakit dan malah dibiarkan di rumah?
Lintang sendiri sejak tadi membisu sambil bersedekap tangan. Enggan bersuara meski sekedar basa-basi. Ia tidak mau kembali berdebat dengan Keno.
Di ruangan kamar Aksa, seorang dokter pria tengah memeriksa keadaan cowok yang sekarang terbaring di atas ranjangnya. Abel tetap pada posisi yang sama, duduk di kursi dekat Aksa lantaran tangan cowok itu belum lepas dari tangannya. Malahan makin menguat seiring menit demi menit.
"Keadaannya belum membaik, bisa saja ia menggigil saat tidur nanti. Saya sarankan ia dibawa ke rumah sakit."
Kompak, pupil Keno bertemu dengan pupil Lintang. Keduanya beradu tatap sengit sambil terus mengkokohkan pendirian.
"Saya beri resep obat dulu, setelah pasien siuman bisa langsung makan lalu minum obat."
Dokter itu menulis sesuatu di atas sebuah kertas, tak lama memberikan beberapa bungkus obat pada Lintang di samping beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable |End|
Novela JuvenilIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...