Back to reality

2.5K 157 1
                                    

Vernon's world

"Dari mana sayang?"

"Dari hotel kan?" jawab Vernon singkat. Ia kemudian berjalan lurus menuju kamarnya, disusul sang ibu dengan nampan berisi makanan di tangan.

Suasana rumah megah berlantai tiga itu mulai sepi sebab hari semakin siang. Vernon dengan khawatir memesan taksi untuk pulang dari hotel, berharap ayahnya tak mengetahui saat ia tiba di rumah. Dan beruntung memang, Vernon hanya disambut ibundanya.

"Kemaren Papa nyariin kamu, katanya mau dikenalin temennya. Tapi kamu malah ngilang."

Vernon tak mendengarkan, sebab ia memang sudah berencana untuk menghindar dari segala bentuk interaksi di acara tersebut. Ia juga tak memberi alasan lain, dan berharap sang ibunda berhenti bertanya mengenai malam itu.

"Kamu baik-baik aja nak?"

"Baik."

"Kenapa pucet? Makan dulu yuk? Mama udah siapin makanan kesukaan kamu."

"Capek, Vernon gak laper."

Vernon melepas jasnya, juga mengeluarkan beberapa barang bawaan di setiap sakunya. Sang ibu masih mengawasi setiap pergerakannya, seolah tak mengkhawatirkan jika anak laki-lakinya akan merasa jengah dengan perhatian yang berlebihan tersebut.

"Halo, pak. Gimana? Ada kabar apa?" ucap Vernon kepada seseorang di ujung panggilan telepon.

"Tuan, ada laporan keuangan yang kemarin anda minta, ternyata perlu direvisi. Sekiranya bisa anda periksa langsung."

Vernon mendesah, sebelum kemudian menutup teleponnya, dan segera bersiap untuk pergi bekerja. Padahal untuk tersadar dari kantuk, juga rasa pening akibat mabuknya pun ia belum sepenuhnya sanggup.

"Mama ngasih uang lagi ke Papa?" tanya Vernon tanpa basa-basi, dan sang ibu hanya bisa terdiam dengan tatapan menyesal.

"Kenapa masih aja seenaknya? Kalo gini caranya, Vernon jadi ngerasa gak berguna."

"Ini yang terakhir deh, Mama janji."

Vernon mencari keperluannya yang lain, beberapa berkas penting beserta laptop. Ia sesekali berhenti untuk mengambil nafas dan mengatur emosinya. Raganya terlalu lelah, pikirannya juga tak bisa diajak bekerja sama untuk berkata sopan.

"Please lah ma, kalian berdua punya bisnis masing-masing, jangan mau dikadalin terus. Udah tau Papa kayak gitu, makanya Vernon pilih bantuin Mama. Tapi, masih aja dikasih uang dan dibela," ucapnya dengan kecewa. Vernon pergi tanpa berpamitan, apalagi mencium tangan sang ibu seperti biasanya.

---

Seungkwan's world

"Gimana acaranya di hotel kemaren?"

"Sabunnya wangi banget, kaya parfum mahal..." jawab Seungkwan asal, sambil terus mengaduk kopinya. Di seberang kursinya kini duduk seorang yang selalu ada untuk Seungkwan, tak peduli apapun keadaannya. Termasuk mengajaknya untuk sekedar duduk di sebuah bakery, yang selalu menjadi kesukaan. Sebab sosok tersebut tau, Seungkwan cukup hati-hati mengatur keuangannya, dan enggan menghabiskan penghasilannya hanya untuk meminum kopi di sebuah toko roti.

"Hah?"

Joshua masih menunggu penjelasan, sementara Seungkwan juga masih melamun, membayangkan beberapa hari lalu, ia menikmati roti tersebut dari seseorang yang rupanya sulit ia lupakan. Entah apa yang membuatnya terus tertawan di memori tersebut, Seungkwan juga kesulitan untuk mengerti.

"Itu lhoh, acara ulang tahun di hotel kemaren. Lancar kan?"

"Oh..." ujar Seungkwan mulai tersadar. "Anu kak, ya gitu... Lumayan lah, rame banget."

"Katanya gitu sih, punya konglomerat soalnya."

"Hehe... Iya."

Keduanya kembali terdiam dengan canggung. Seungkwan beberapa kali mencoba meminum kopinya, sementara Joshua hanya ingin memperhatikan Seungkwan lebih lama.

"Bosen ya? Mau ke tempat lain gak?" tanya Joshua lagi.

"Gak kok kak, gak bosen. Maaf ya..."

Seungkwan dengan ragu menyentuh rotinya, namun tetap merasa tak nyaman. Di bulan sebelumnya, ia akan dengan senang hati menerima tawaran Joshua untuk bertemu dan menyantap beberapa potong roti bersama. Namun, tidak dengan hari ini. Dan setelah melakukan pertimbangan, Seungkwan memutuskan untuk mengajak Joshua pergi ke tempat lain.

"Kak... Boleh bawa pulang aja gak rotinya? Kita makan steak yuk?"

"Boleh boleh. Gue bilangin sama mbak nya dulu." Joshua lalu memanggil pelayan untuk membungkus pesanan mereka, dan bersiap untuk pergi dari tempat tersebut. "Mau makan steak aja?"

"Iya. Kakak suka kan? Gue traktir pake bayaran dari hotel kemaren," ujar Seungkwan dengan semangat. Ia tak ingin membiarkan pikirannya terlarut dalam kenangan semu nan memabukkan. Ia juga tak ingin membuang waktu milik sang sahabat dengan percuma, apalagi setelah perlakuannya yang begitu sabar selama ini.

"Gue yang ditraktir beneran? Oke, let's go!" jawab Joshua dengan perasaan berbunga. Ia tentu tak memikirkan alasan dibalik keinginan Seungkwan yang mendadak. Hatinya terlanjur bahagia dengan kenyataan bahwa Seungkwan bisa mengingat makanan kesukaannya, juga diberi kesempatan untuk mengganti suasana di sore yang sendu itu.

Our mistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang