"Bisa tolongin gue gak?"
Vernon meminta dengan putus asa, dihadapan Seungkwan. Laki-laki yang beberapa bulan lalu dengan angkuh menolak dimintai pertanggungjawaban, kini datang memohon belas kasih. Terdapat banyak luka di wajah Vernon, juga di beberapa bagian tubuh lain. Jasnya terlihat sedikit terkoyak, bahkan arloji di tangan kirinya pecah.
"Gak bisa. Maaf."
Seungkwan berusaha menghindar, ia hanya ingin mengambil barangnya dan pulang. Tapi Vernon meraih tangannya dan Seungkwan tak bisa melawan, Vernon tetap lebih kuat darinya walau bagaimanapun. Kini beberapa pengunjung lain juga mulai memperhatikan mereka, yang semakin membuat Seungkwan tak nyaman.
"Seungkwan please..." pinta Vernon, dan Seungkwan tak menyangka Vernon kini mengetahui namanya.
"Lagian kamu juga gimana bisa nyampe sini sih? Pulang sana!"
"Gue kabur dari rumah, lagi," jelas Vernon masih dengan tatapan memohon dan Seungkwan jadi mengerti alasan kedatangannya. "Lo tau sendiri kan? Gue beneran butuh bantuan..."
Seungkwan benar-benar ingin menolak, namun melihat kondisi Vernon yang penuh luka, hatinya mendadak kembali luluh. Ia akhirnya mengajak Vernon masuk ke dalam kafe, dan mengantarnya ke toilet untuk bertukar pakaian. Seungkwan mengenakan jas milik Vernon, sementara Vernon memakai hoodie milik Seungkwan, juga diberikan sebuah masker.
"Tunggu sini, aku mau keluar cari taksi."
Seungkwan menyetop sebuah taksi, lalu meminta Vernon masuk. Selama perjalanan, ia enggan bertanya mengenai apa yang terjadi pada Vernon hingga kembali melarikan diri dari rumah. Pikirannya jauh lebih rumit memikirkan bagaimana Vernon bisa berada di lingkungan kafe milik Jeonghan daripada apa yang menimpanya. Seungkwan sudah cukup lelah dengan hidupnya, tak ingin menambah kesulitan dengan drama milik Vernon maupun keluarganya.
"Ini bukan rumahku, dan yang punya rumah tau hubungan kita sebelumnya. Jadi, tunggu dulu sampe aku bolehin kamu masuk," jelasnya pada Vernon di depan rumah sang kakak, dan Vernon menurut.
"Dan, kalo gak dibolehin, tolong jangan maksa," imbuh Seungkwan lagi. "Aku bakal coba sekali doang, kalo gagal mending kamu pergi."
Seungkwan begitu tegang, ia berhenti sejenak di depan pintu rumah cukup lama. Ia hanya tamu, dirinya juga sedang dibantu. Tapi kini ia dengan sadar membawa orang lain untuk memohon pertolongan, apa reaksi kakaknya nanti?
"Darimana, Kwan? Jalan-jalan ya?" tanya Jeonghan, sebab Seungkwan keluar rumah lebih lama dari biasanya. Pikirnya, mungkin sang adik sudah mulai nyaman untuk pergi mencari suasana baru, dibandingkan saat ia belum lama pindah ke lingkungan tersebut.
"Kak... Kalo aku minta tolong, boleh gak?"
"Ada apa dek?" Jeonghan tentu kebingungan dengan pertanyaan Seungkwan. Ia khawatir terjadi sesuatu kepada sang adik, ataupun bayinya. "Ada yang sakit?"
"Gak kok kak, gak ada... Emm..." Seungkwan benar-benar kesulitan menemukan alasan yang tepat untuk meminta ijin kepada sang kakak supaya Vernon bisa mendapatkan tumpangan sementara. Terlebih lagi, Jeonghan tak kalah kecewanya terhadap sikap tak bertanggung jawab Vernon.
"Kenapa sih? Sini coba, bilang pelan-pelan..."
"Kalo aku bilang Vernon ada disini, dan butuh tumpangan. Kakak ngijinin gak?"
Jeonghan keheranan, juga tak percaya. Seungkwan kemudian menjelaskan bagaimana ia bisa bertemu kembali dengan Vernon, juga alasan mengapa ia bersedia membawa serta Vernon pulang.
"Beberapa hari aja kak. Sebelum Kak Seungcheol pulang, aku pastiin dia udah keluar dari rumah ini."
"Aku bakalan bayar, apapun biayanya selama dia numpang sebentar disini kak," lanjut Seungkwan lagi dan Jeonghan semakin kebingungan.
"Kakak sih gak keberatan kalo ayahnya Seunghan sampe tau, dia pengen banget ketemu dan ngehajar Vernon soalnya," ucap Jeonghan pasti dan Seungkwan semakin merasa tak enak hati.
"Tapi, kamu sendiri gimana, Kwan? Kenapa mau aja nolong dia bahkan setelah kelakuannya dulu?"
"Aku udah maafin dia kak, walau masih agak kesel juga. Tapi sekarang dia beneran lagi butuh bantuan," tutur Seungkwan memohon, dengan mata yang berkaca-kaca. Jeonghan meninjau permintaan sang adik berulang kali sebab ia tak tega membuat Seungkwan terlalu banyak pikiran.
"Sekarang dia dimana? Penasaran juga sama muka songongnya," tanya Jeonghan.
Jeonghan akhirnya mengijinkan Seungkwan untuk membawa Vernon masuk, mulanya hanya ingin memastikan. Dan setelah melihat sendiri keadaan Vernon yang memprihatinkan, Jeonghan juga bisa merasa iba. Ia menyiapkan beberapa bantal juga selimut untuk Vernon tidur di ruang tamu, serta alkohol untuk membersihkan luka. Walau ia masih enggan secara langsung berbicara kepada Vernon, dan membiarkan Seungkwan yang menyampaikan pesannya.
"Ini kenapa bisa gini sih?"
"Lompat dari mobil," jawab Vernon dengan tenang, sementara Seungkwan terkejut bukan main.
"Lompat? Dari mobil?" tanya Seungkwan tak percaya. "Kamu lompat dari mobil? Mobilnya lagi jalan nih, terus kamu lompat?"
"Iya, gitu. Tapi belom jauh, baru banget jalan dan gue langsung buru-buru lompat sebelum makin kenceng jalannya."
"Ya sama aja?!?! Sama bahayanya," jawab Seungkwan melanjutkan lagi usahanya membersihkan luka gores tersebut. "Kenapa nekat banget deh? Papa kamu ngapain lagi?"
Vernon menatap Seungkwan dengan seksama, nampaknya kini ia yang terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Darimana Seungkwan mengenal ayahnya?
"Kamu sendiri yang cerita pas udah mabok, cerita semua tentang Papa kamu. Gak inget ya?" tutur Seungkwan dan Vernon menggeleng. Ia kemudian mulai ingat saat meminum sisa alkohol setelah melakukan hubungan dengan Seungkwan, dan mulai bercerita tentang kepahitan hidupnya dengan lebih rinci.
"Oh... Iya. Gitu..." jawab Vernon singkat. Ia sesekali meringis, menahan perih dari alkohol pembersih lukanya. Ia juga sempat mencuri pandang ke arah perut Seungkwan yang semakin membuncit.
"Liatin apa?" tanya Seungkwan dan Vernon menggeleng segan seperti anak kecil.
"Jangan diliatin terus," tegur Seungkwan kemudian menutupi baby bump nya dengan cardigan. "Jangan komentar juga."
Ada perasaan lega di hati Vernon kini. Rasa bersalahnya mungkin belum terlalu besar, tapi Vernon bersyukur bayi tersebut tidak benar-benar digugurkan oleh Seungkwan.
Setelah selesai, Jeonghan memberikan baju ganti dan juga meminta Seungkwan untuk menanyakan apakah Vernon sudah makan di hari itu.
"Udah makan belom?" tanya Seungkwan dan Vernon menggeleng. Ia mengantarkan Vernon ke dapur, dan memberinya makan dengan apapun yang tersisa di meja. Dan seperti dugaannya, Vernon sangat menikmati makanan pertamanya di hari itu.
"Mukanya melas banget, ngeselin," tutur Jeonghan dan Seungkwan tersenyum tipis. Ia tak pernah berharap orang lain memaklumi perbuatannya, entah hari ini atau waktu pertama kali ia bertemu dengan Vernon. Tapi, ia berharap orang lain bisa melihat sendiri betapa menyedihkan keadaan pria blasteran itu, hingga nekat meminta bantuan dari orang asing.
"Kalo udah selese, kamu cepetan istirahat ya dek? Biarin dia disitu, selama ayahnya Seunghan belom pulang, dia masih aman kok..."
Seungkwan memeluk sang kakak begitu erat. Ia masih merasa bimbang dan juga begitu emosional.
"Makasih ya kak, dan maaf udah ngerepotin lagi. Aku beneran gak tau harus gimana..."
"Ehhh, kok nangis? Kakak nerima dia tuh biar kamu lega dek..." Jeonghan memperingatkan Seungkwan yang justru menangis di pelukannya. "Kalo dia disini malah bikin kamu stress, kakak suruh pergi lagi nanti."
Mau baca chapter flashback pas mereka pertama ketemu gak? Biar agak nyambung sama beberapa part di sini, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?