Your mistake

1.6K 114 4
                                    

"Permisi, mbak. Saya bisa ketemu sama bapak Vernon Chwe gak ya?" tanya Seungkwan kepada seorang resepsionis. Ia berada di kantor pusat dari perusahaan milik ayah Vernon, untuk membicarakan perihal kehamilannya. Seungkwan menghubungi seorang teman dari event organizer tempatnya bekerja untuk meminta alamat kantor tersebut, yang beberapa bulan lalu membayarnya untuk menjadi pembawa acara. Yang juga menjadi awal pertemuannya dengan Vernon.

"Anda sudah buat janji? Biar saya hubungi sekretaris bapak Vernon terkait jadwal bertemu tersebut."

Seungkwan menggeleng.

"Mohon maaf, tapi bapak Vernon hanya bisa ditemui kalau Anda sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya."

Seungkwan tak memikirkan hal tersebut, ia mendadak lupa bahwa Vernon merupakan pewaris utama sebuah perusahaan multinasional yang tak bisa sembarangan ditemui. Ia kemudian berpamitan kepada sang resepsionis, dan bersiap pergi menahan kecewa yang dibuatnya sendiri.

"Vernon!" panggil Seungkwan spontan saat melihat Vernon keluar dari sebuah mobil, keduanya bertemu di depan pintu utama gedung tersebut.

"What are you doing here?" tanya Vernon panik. Ia melihat sekeliling, satpam di depan pintu masuk tengah memarkirkan mobilnya, sementara karyawan lain yang berlalu-lalang bersikap seolah tak ingin ikut campur dengan urusan bosnya itu.

"Aku mau ngomong, sebentar aja," pinta Seungkwan dengan putus asa. "Please... Ini penting banget."

"Cari taksi dulu deh, kita harus pergi dari sini."

Seungkwan menurut, dan mengikuti langkah cepat Vernon untuk keluar dari area perkantoran tersebut. Vernon juga masih sempat berhenti sejenak, memasangkan penutup kepala pada jaket yang Seungkwan kenakan.

"Jangan sampe banyak yang liat."

Vernon menunggu taksi dengan gelisah, Seungkwan juga tak kalah groginya, walau kekhawatiran keduanya jelas berbeda. Vernon yang berusaha menjaga agar bisa segera keluar dari wilayah pengawasan sang ayah, serta Seungkwan yang masih mempertanyakan keputusannya untuk memberitahu Vernon. Keduanya sama-sama hampir kehilangan akal. Beruntung, tak butuh waktu lama hingga akhirnya ada sebuah taksi yang bisa mereka tumpangi, dan bergegas pergi.

"Mau ngomong apa? Bisa disini aja gak? Gue sibuk," tanya Vernon setelah beberapa saat taksinya melaju. Ia sudah bisa sedikit bernafas lega, sementara kini Seungkwan yang berganti merasakan panik.

"Jujur, aku bingung gimana mulainya. Tapi..."

Seungkwan dengan gugup mengeluarkan USG bayinya, dan menyerahkannya kepada Vernon. Seungkwan merasa semakin berdebar, sementara Vernon masih tak mengetahui apa yang tengah berada dalam genggamannya itu. Ia berulang kali berpikir, meski seharusnya ia bisa memahami hal yang ingin Seungkwan katakan.

"Aku berani sumpah... Aku gak pernah ngelakuin itu selain sama kamu."

Vernon bersandar pasrah pada jendela taksi, tak mampu berkata hal lain. Ia beberapa kali melihat kembali potret abu-abu dari janin tersebut, sambil memikirkan apa yang harusnya ia lakukan.

"Terus... Kenapa ngasih tau gue soal hal ini?"

"Ya aku pengen kamu tau, dan ada tanggung jawab lah." jawab Seungkwan dengan nada sedikit tinggi, sebab tak habis pikir dengan pertanyaan yang diajukan Vernon.

"Pak, tolong cari ATM yang sepi ya. Jangan berhenti sebelum ketemu yang beneran gak ada orang."

Setelah taksi berjalan sekitar 15 menit, mereka akhirnya menemukan tempat penarikan uang yang terlihat sepi. Vernon segera turun, dan meminta Seungkwan serta taksinya menunggu. Tanpa pikir panjang, ia mengeluarkan semua kartu yang ia punya, dan menarik uang sebanyak mungkin hingga mencapai limitnya. Begitu uang di satu kartu mulai habis, ia berganti dengan kartu lain. Seperti itu terus menerus hingga terkumpul puluhan lembar uang di tangannya kini.

"Pak, ini buat bayar taksinya. Ambil aja kembaliannya," tutur Vernon kepada sopir taksi tersebut dan dibalas senyuman terimakasih. Ia lalu menyuruh Seungkwan untuk turun. Tak ada kata yang terucap darinya, Vernon yang tadinya ikut kebingungan kini terlihat dingin.

"Vernon, stop!" perintah Seungkwan saat Vernon menyerahkan uang yang tidak bisa ia kira jumlahnya itu.

"Bisa gak sih kamu gak gunain uang terus kaya gini? Gak mikir apa yang aku butuhin bukan cuma uang!" protes Seungkwan dengan wajah semakin memerah menahan emosi. Ia mengembalikan uang tersebut kepada Vernon dengan kasar.

"Terus apa? Lo ngarepin apa sebenernya? Gue nikahin?"

Vernon makin terlihat santai, tanpa ekspresi yang berarti. Sementara Seungkwan yang diberi pertanyaan jelas mulai merasa miris.

"Pake uangnya buat gugurin dia, karena gue jelas gak mungkin tanggung jawab dalam bentuk apapun itu!" lanjut Vernon dengan nada lebih tinggi, dan tatapan serius. Ia terdengar begitu yakin dengan pernyataannya tersebut.

"Bisa-bisanya kamu bilang kaya gitu setelah kita ngelakuin itu berdua."

"Lo bisa aja nolak kan? Kenapa dulu mau aja? Salah lo sendiri lah!" tutur Vernon semakin ketus. "Belom tentu juga itu anak gue, masih mending gue sudi ngasih duit."

"Jahat banget, sumpah." Seungkwan spontan mengusap perutnya, seolah berharap sang janin tak mendengar apa yang Vernon katakan.

"Lebih jahat mana? Emang lo mau maksa dia buat hidup tanpa ayah gitu? Egois banget tau-"

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi kiri Vernon sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimatnya. Seungkwan tak sanggup lagi menahan kepedihan, juga amarahnya.

"Coba, ngomong kaya gitu sekali lagi! Tega banget kamu bilang aku egois, di saat kamu sendiri gak mau tanggung jawab!"

Seungkwan berteriak sebisanya, wajahnya merah padam setelah berhasil memaki sang lawan bicara. Sementara Vernon tetap berusaha untuk tenang, mengatur nafasnya dan memikirkan kalimat lain untuk menyelesaikan perdebatan yang menurutnya tak berguna itu.

"Gue peringatin ya, mending lo terima uang ini," ucapnya kembali mencoba menyerahkan uang tersebut kepada Seungkwan.

"Ini satu-satunya tanggung jawab yang bisa gue lakuin. Gugurin bayi itu, dan jangan pernah temuin gue lagi kalo masih mau hidup tenang."

Vernon memaksa Seungkwan untuk menggenggam erat tumpukan uang tersebut, ia tak bisa bersabar lagi. Ia kemudian pergi setelah berhasil memberhentikan satu taksi dan meninggalkan Seungkwan begitu saja. Tak menoleh ke belakang, walau hanya satu kali.

Our mistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang