Breaking down (Vernon version)

1.5K 90 1
                                    

Sebuah mobil SUV keluaran terbaru tiba-tiba terparkir di depan rumahnya. Catnya mengkilap, desainnya juga modern. Ayahnya tak mungkin membeli mobil baru jika mobil lamanya tak bermasalah. Meski mudah bagi beliau untuk bermewah-mewahan, sang ayah merupakan sosok yang amat loyal dengan barangnya sendiri. Sementara ibundanya juga tak begitu mengerti masalah otomotif. Vernon menjadi waspada.

"Mobil siapa pak?" tanya Vernon kepada supir pribadi sang ibu yang tengah menyiapkan garasi.

"Mobilnya ibu, Tuan." jawab sang supir dengan segan. Vernon semakin menyadari memang ada yang salah dari semua ini.

"Papa yang beli?" tanya Vernon lagi, dan dibalas anggukan. "Bapak tau apa? Cerita aja sama saya, gak usah takut."

Vernon tak sadar jika tatapannya mulai berubah terlalu serius sebab menahan amarah. Supirnya jelas kesulitan untuk berbicara, namun ia terus memaksa. Setelah beberapa kali nada bicara serta pertanyaannya semakin menjurus, barulah ia sadar dan berbicara dengan lebih tenang.

Cerita yang berbeda dengan pola yang sama. Ayahnya yang selalu memperlakukan ibunda Vernon dengan amat buruk dan semena-mena, kemudian menyesal dan memanjakan istrinya tersebut dengan uang serta barang mewah lainnya. Vernon semakin tak habis pikir.

"Hai, Nonie. Mau makan apa sayang?" tanya sang ibu saat Vernon masuk ke dapur.

"Your scarf is beautiful..." ucapnya, tak menjawab pertanyaan ibundanya.

"Oh... Thankyou."

Vernon masih berusaha diam, saat ia tau apa yang ibunya sembunyikan dibalik sapu tangan berbahan satin yang melingkar indah di lehernya. Apapun itu, pasti sesuatu yang mampu membuatnya murka.

"Mama bikin apa?" tanya Vernon sambil menunjuk ke arah pemanggang. Di meja makan sudah tersedia beberapa pilihan lauk, diantaranya juga terdapat makanan kesukaan Vernon. Namun sang ibu masih sibuk dengan sesuatu yang lain.

"Oh ini... Cheesecake. Kamu mending makan dulu, kalo udah selesai pasti pas cakenya mateng."

Vernon mengangguk dan bersiap makan. Ia menikmati segala yang ada dihadapannya dengan antusias, juga beberapa kali memuji makanan tersebut.

"Suka gak? Tadi Mama cari keju yang biasanya, tapi kosong..." tanya ibundanya lagi, dan Vernon mengacungkan jempolnya sembari tersenyum.

Keluarganya memang membayar banyak asisten rumah tangga untuk keperluan yang berbeda, tapi sebuah pengecualian untuk urusan makanan. Sang ibu kerap kali memasak sendiri, dan hanya minta bantuan untuk berbelanja atau membereskan dapur. Vernon bisa merasakan kebahagiaan tiap kali ibundanya berada di dapur dan menyiapkan makanan. Apalagi tiap Vernon bisa menyempatkan waktu untuk makan bersama di meja makan dan mampu menghabiskan makanan favoritnya. Meski kerap kali bersitegang tentang masalah bisnis atau yang lain, Vernon sejatinya tetap menyayangi sosok yang telah melahirkannya tersebut. Ia hanya tak punya banyak cara untuk mengungkapkan.

"Papa ada di atas, Ma?"

"Ada kayanya. Tapi nanti malem mau keluar lagi, mungkin lagi istirahat."

Vernon membereskan piringnya, dan bersiap pergi menemui sang ayah.

"Mau kemana sayang?" tanya sang ibu dengan tatapan khawatir, tangan kanan Vernon kini digenggam erat.

"Mau nemuin Papa, sebentar..." jawab Vernon perlahan melepaskan genggaman ibundanya. "Happiness looks good on you, Mom. And i have to make sure about it."

Tok tok

"Masuk."

Vernon membuka pintu perlahan, setelah diijinkan untuk masuk. Ayahnya tengah mempelajari sebuah dokumen dengan serius, dan tersenyum ketika mengetahui kedatangannya.

"Nonie... Ada apa?"

"Nonie mau gabung sama perusahaan Papa."

Sang ayah meletakkan dokumen tersebut sebab terkejut dengan pernyataan Vernon. Kembali, senyuman terukir disudut bibir beliau.

"Papa gak salah denger. Nonie bersedia bantuin Papa."

"Kenapa? Papa liat, perusahaan Mama kamu udah stabil lagi sekarang. Kamu mau tinggalin gitu aja?"

Licik memang, sebab ayahnya yang membuat semua itu terjadi. Namun ketika Vernon berhasil membereskan masalah tersebut, sang ayah tetap tak merasa bersalah. Beliau justru merasa bahwa perbuatannya benar, dan terbukti mampu membuat sang anak semakin terampil dan mumpuni untuk menyelesaikan masalah. Vernon seolah memanjakan ego sang ayah secara tidak langsung.

"Itu kan yang Papa mau?" tanya Vernon, dan sang ayah semakin terhibur.

"Vernon bakal nerima berapapun gaji yang Papa kasih. Meeting, dinner, business trip atau apapun itu, aku bakalan dateng."

Sang ayah jelas semakin terkejut dengan pernyataannya barusan. Vernon yang selama ini bahkan tak pernah bersedia keluar kamar untuk menyapa tamu dari kolega ayah maupun ibunya, menyatakan akan bersedia memenuhi setiap tanggung jawab dari pekerjaannya dan menemui banyak orang. Terlebih, orang-orang tersebut merupakan rekan dari ayahnya, yang tak lain merupakan penjilat serta pebisnis kotor yang turut merepotkan bisnis sang ibu.

"Tapi, dengan satu syarat."

"Satu? Cuma satu?"

"Papa gak boleh kasar sama Mama lagi," ucapnya pasti. "Kalo sampe Vernon liat Mama sampe lecet sekecil apapun itu karena Papa, Vernon keluar dari rumah ini."

"Oke. Apapun itu, asal anak kesayangan Papa ini bersedia diajak kerja sama."

Our mistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang