"Masih sibuk, Tante. Tapi katanya baik-baik aja kok," jelas Seungcheol kepada ibunda Seungkwan. Ia diminta menghubungi Vernon yang belakangan teramat sibuk untuk menanyakan kabarnya.
"Syukur deh kalo gitu. Takutnya dia nanti ikutan sakit."
"Kenapa tante?" tanya Seungcheol saat ekspresi Tante nya berubah dalam sekejap.
"Tadi kirain tangannya gerak, mungkin cuma perasaan Tante aja..." jelas ibunda Seungkwan yang memang tengah menggenggam tangan Seungkwan sedari tadi.
"Cheol... Kayanya gerak lagi deh..."
Seungcheol turut mengamati hal tersebut, terlebih saat Mama Boo melepaskan genggamannya. Diletakkannya tangan Seungkwan di atas ranjang, dan setelah beberapa saat kembali terjadi pergerakan kecil dari jemarinya.
"Aku panggilin dokter dulu, Tante."
Seungcheol menekan tombol darurat, namun ia tak bisa menunggu, dan terlalu panik untuk sekedar duduk tenang. Ia memutuskan berlari keluar mencari petugas medis, namun nihil. Tak ada siapapun yang tengah beraktivitas. Dan tak lama berselang, barulah beberapa suster serta seorang dokter datang untuk memeriksa.
"Halo, sayang. Lagi dimana? Seungkwan udah sadar, sekarang lagi diperiksa."
"Serius??? Aku baru selesai ngurusin bayik."
"Aku suruh supir buat jemput kamu kesini ya? Bayinya bawa sekalian juga gak papa, jangan panik dulu, okay?"
Seungcheol menutup telfonnya, dan kembali memantau keadaan Seungkwan. Seorang suster kemudian keluar dari ruangan dengan senyum yang lebih tenang dibanding saat Seungkwan tiba di rumah sakit tersebut. Tak lama, dokter juga memberikan penjelasan bahwa Seungkwan dalam keadaan yang lebih stabil, dan bisa diajak berkomunikasi.
"Kak?"
Seungkwan masih berusaha beradaptasi. Yang ada di hadapannya kini bukanlah yang ia duga akan menjadi orang yang pertama kali dilihat saat membuka mata. Seungkwan tak mengerti mengapa demikian, yang pasti ia tetap bersyukur bisa kembali diijinkan untuk tetap hidup.
"Ada yang sakit gak?" tanya sang ibu yang masih mengamati putranya, dan Seungkwan menggeleng. Tak ada rasa sakit yang ia rasakan, hanya rasa rindu juga sesal yang teramat dalam. Seungkwan pamit dari rumah dengan begitu banyak hal yang disembunyikan, dan kini semuanya harus terbongkar sebelum ia sempat memberi penjelasan. Seungkwan merasa malu, namun ia juga merasa amat terharu.
"Maaf ya, Kak. Papa belom bisa masuk, katanya belom kuat mau ketemu kakak," jelas sang ibu yang hendak duduk, namun Seungkwan merentangkan tangannya dan meminta sebuah pelukan.
"Mama..."
Seungkwan tak mampu berkata apapun selain memeluk ibu sambungnya. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya, namun tak satupun bisa diucap. Entah berapa lama Seungkwan tidak bertemu dengan keluarganya, hingga ia akhirnya bisa melupakan rasa canggung yang pernah menyelimuti hatinya tiap kali berjumpa dengan sang ibu sambung.
"Iya sayang, Mama di sini,"
"Maaf, Ma. Maafin Seungkwan...," ucap Seungkwan terbata. "Maaf buat semuanya, maaf karena udah bohongin keluarga. Maaf karena gak bisa jujur dan gak pernah nengokin Mama sama Papa."
"Yang lalu biarin berlalu, sayang," jawab sang ibu dengan lembut. "Maafin Mama juga karena gak bisa nemenin dari awal. Gak sanggup ngebayangin, kakak selama ini berjuang dan ngerasain semuanya sendirian..."
"Mama udah tau semuanya?" tanya Seungkwan memperjelas situasi, dan ibunya mengangguk. "Mama udah liat bayinya belom? Anakku baik-baik aja kan?"
"Udah sayang, Mama udah liat. Dia baik-baik aja kok, sehat dan lucu banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
أدب الهواةVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?