"Hai, sayang. Aku abis meeting tadi, kelamaan gak nunggunya?" tanya Vernon, yang kemudian ingat dengan buket bunganya. Ia kembali ke dalam mobil, dan mengambil seikat mawar putih untuk Seungkwan.
"Bunganya bukan aku yang pilih ya, tapi titip Mama tadi. Katanya biar romantis, jadi dibeliin white rose semua gini..." tuturnya tersipu. Masih sedikit malu-malu untuknya bersikap semanis itu dan mengakui hubungannya dengan Seungkwan kepada banyak orang setelah sekian lama disembunyikan. Walau kedua keluarga juga telah menerimanya.
"Iya mau bawain bunga sih, tapi warna lain gitu lhoh. Bukan kaya yang biasanya dibawain sama..." Vernon berhenti sejenak, takut dinilai masih merasa cemburu dengan perhatian Joshua dulu, walau memang iya.
"Hehe, lagian sekarang kamu udah jelas gak bisa deket lagi sama dia, so forget it. Cemburunya aku kurangin dikit, segini..." ucap Vernon yang tak lupa memamerkan ujung jarinya.
Ia hanya sekedar teringat. Tak berniat untuk mengungkit masa lalu dengan tidak sopan, apalagi menyudutkan Seungkwan dan hubungan pertemanannya. Meski percintaannya dengan Seungkwan belum berlangsung lama dibandingkan persahabatan dengan Joshua, Vernon tetap percaya diri dan merasa bahwa tak banyak yang perlu dikhawatirkan.
"Oh iya, kemaren tuh kak Seungcheol cerita kalo mau program hamil lagi. Seunghan udah rewel banget minta adek," jelasnya dengan senyuman. "Dokter bilang kalo kak Han juga udah siap, jadi mereka minta doanya biar lancar semua."
Vernon bersyukur, pertemuannya dengan Seungkwan mengubah banyak hal juga pandangannya mengenai hidup. Banyak pelajaran yang mungkin tak akan pernah ia dapatkan jika hanya berdiam di rumah, dan sekedar mengelola bisnis serta bertemu kolega dari orangtuanya yang tentunya Vernon tak suka.
Vernon bisa bertemu orang-orang sepertinya, yang berjuang untuk hidup dengan lebih baik. Orang yang mampu mengerti betapa sulit menjalani kehidupan setelah kehilangan hal yang berharga, bukan hanya menyaksikan persaingan hidup yang hanya didasari keserakahan.
"Eh, kak Han udah cerita belom sih? Ini bunga dari kak Han pasti ya? Ah, aku telat dong..." tanya Vernon lagi, yang tentunya tak akan pernah terjawab. Vernon meletakkan bunganya di sebelah vas yang dibawa Jeonghan sebelumnya. Diusapnya batu nisan milik sang kekasih hati dengan lembut, sembari membayangkan senyuman sang kekasih yang tak mungkin dilihatnya lagi.
Seungkwan menghembuskan nafas terakhirnya tak lama setelah sang bayi berhasil dikeluarkan. Pendarahannya terlalu fatal, dan dokter tak bisa melakukan banyak hal untuk menolongnya. Sementara bayinya masih bisa melihat dunia untuk beberapa hari, meski akhirnya juga pergi menyusul sang ibu.
Keduanya dimakamkan di pemakaman milik keluarga Vernon, meski pada awalnya memang menjadi perdebatan dengan ayahanda Seungkwan. Namun, melihat niatan tulus serta besarnya rasa cinta Vernon kepada sang putra, akhirnya Papa Boo mengalah dan mengijinkan hal tersebut.
"Kangen gak sih sama aku?" ucap Vernon yang masih saja mencoba menggoda. "Aku kangen lhoh. Sama kamu, sama dedek juga."
Vernon masih sempat menimang sang putra yang tampak terlahir sempurna dari luar. Namun seperti bayi prematur lainnya, organ dalam putranya belum berkembang dan berfungsi sebagai mana mestinya. Hingga mengikhlaskan untuk yang kedua kali merupakan hal yang Vernon coba lakukan, daripada memaksakan sesuatu yang jelas di luar kendalinya.
"Pengen peluk, pengen cerita sama kamu tentang banyak hal. Aku sekarang coba cerita sama Mama sih, tapi maunya cerita juga sama kamu. Gimana dong?"
Hari semakin gelap. Sang mentari yang mengiri langkahnya selama seharian telah kembali ke peraduan dan meninggalkan Vernon dalam kegelapan yang dingin dan menyedihkan. Vernon kemudian mengambil dua tangkai mawar dari buketnya, satu untuk sang kakak, satu lagi untuk bayinya. Ia juga sempat memperhatikan sepetak tanah kosong di antara makam Seungkwan juga kakaknya, yang ia tau pasti siapa pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?