"Sayang, kamu gak lagi berusaha buat "sesuatu" kan?" tanya Jeonghan saat melihat kepergian Seungkwan dengan Joshua. Seungcheol menaruh perhatian berlebih kepada keduanya.
"Aku cuma mikir, siapa tau jalan-jalan bisa ngurangin stress nya Seungkwan."
"Iya juga sih, walau agak gimana gitu ngeliatnya..."
Setelah kurang lebih 2 minggu lamanya, Seungkwan akhirnya bisa meyakinkan Jeonghan bahwa ia sudah dalam keadaan baik-baik saja. Dengan hati-hati Seungkwan membujuk sang kakak agar bisa membiarkan Seungkwan kembali beraktivitas seperti biasa, juga pergi menemui Joshua. Jeonghan sempat menawarkan diri untuk mengantar Seungkwan, namun sang suami memintanya agar tidak berlebihan. Akan lebih baik jika Seungkwan bisa pergi dengan temannya setelah sekian lama hanya berdiam di rumah.
"Kamu tau kalo aku segitu bencinya sama Vernon, bukan berarti aku bakalan ngejodohin Seungkwan sama Joshua gitu aja sayang," jelas Seungcheol yang membuat Jeonghan cukup terkejut. "Seungkwan masih mikirin si brengsek itu, aku yakin."
"Kamu gak mau nyari Vernon, sayang? Atau, kita datengin aja?"
"Buat apa? Nuntut keluarganya?" jawab Seungcheol santai.
"Kalo dateng kesana bawa preman atau polisi, aku mau sih. Minimal, kalo gak bikin dia masuk penjara ya masuk rumah sakit." lanjut Seungcheol lagi.
Jeonghan tetap merasa khawatir, meski telah berpesan kepada Seungkwan untuk menjaga kondisi. Ia mempertimbangkan banyak hal untuk membiarkan Seungkwan pergi di hari itu. Belum lagi, Jeonghan juga ingat bahwa Joshua menaruh perasaan yang dalam untuk Seungkwan.
Dan, Seungkwan mengingat semua pesan kakaknya dengan baik. Ia berusaha untuk menjaga interaksinya dengan Joshua agar tetap seperti biasa. Seungkwan juga menyelesaikan urusannya dengan cepat, agar waktunya mengobrol dengan Joshua bisa lebih santai tanpa harus pulang terlambat nantinya.
"Kwan, kalo gue mau ngomong serius boleh gak?" tanya Joshua setelah keduanya selesai memesan kopi.
"Mau ngomong apa kak?"
Joshua terlihat gugup walau sudah merencanakan hal tersebut dari lama. Ia mengeluarkan sebuah kotak cincin, dan membukanya di hadapan Seungkwan.
"Please... Take a chance with me."
Seungkwan menarik tangannya dari atas meja, kemudian mengusap perlahan perutnya. Sang bayi mulai menendang, mungkin karena Seungkwan berusaha keras menahan rasa terkejutnya. Niat Seungkwan untuk sekedar bertemu dan menikmati waktu di tempat mereka biasa bertemu lagi-lagi harus disisipi hal yang di luar perkiraan.
"Tadinya, gue mau bilang pas dateng ke rumah. Tapi karena lo lagi sakit, jadi gue tunda dulu..."
Joshua berniat mengambil salah satu cincin dalam kotak tersebut, berniat untuk disematkan ke salah satu jari Seungkwan namun ditolak secara halus. Seungkwan menutup kotak tersebut.
"Kak, kenapa harus gue?" tanya Seungkwan tanpa bisa memikirkan pertanyaan lain. "Kalo kakak cuma ngerasa kasian, gak perlu segininya kok. Gue baik-baik aja..."
"Karena gue cuma cinta sama lo, Kwan. Gak ada alesan selain itu..." jawab Joshua yang tak kalah menahan pedih atas respon Seungkwan terhadap lamarannya. "Kenapa sih lo selalu bilang gue kasian? Kurang apa usaha gue selama ini buat nunjukin kalo ini tuh cinta?"
"Kak... Please..."
"Gue udah bilang kalo perasaan ini muncul bahkan dari sebelum lo hamil, dan gue gak ada masalah sama hal itu. Gue cuma pengen punya hubungan lebih dan ngasih lo kebahagiaan karena cinta, udah."
Seungkwan tetap berusaha tenang, tak ingin lagi terlarut dalam pemikiran yang terlalu rumit hingga berakhir mengorbankan kesehatan diri sendiri dan bayinya, Ia juga harus segera mengungkapkan perasaannya, agar Joshua tak lagi berharap.
"Kak... Tapi gue beneran gak bisa bales perasaan itu."
"Kita bisa coba dulu kan? Siapa tau nantinya lo bisa ngerasain cinta gue dan nerima..."
"Hati gue udah ada yang nempatin, Kak," jawab Seungkwan dengan perasaan yang berat. Meski harus melihat Joshua yang begitu terpukul, Seungkwan tak bisa lagi menahannya.
"Bukannya gak mau coba, tapi takut nantinya bakal nyakitin kakak karena gak jujur masalah ini. Gue udah jatuh cinta sama orang lain, dan perasaannya masih bertahan sampe sekarang."
Suasana hening seketika. Seungkwan kini mulai menitikkan air mata, sementara Joshua bersandar dengan pasrah di bangkunya. Pengakuan masing-masing sudah selesai, meski kembali menyisakan sesak juga sesal di hati.
"Maaf banget..."
"Are you sure about that?" tanya Joshua memastikan, dan Seungkwan mengangguk pelan. Jika bukan karena Seungkwan yang sudah terlebih dulu menangis, Joshua sebenarnya juga ingin mengeluarkan kepedihan hatinya.
"Hmm.... Gue bakal mundur kalo emang lo punya perasaan ke orang lain, Kwan..." ucap Joshua dengan tenang, meski tak ada lagi senyum yang terukir. Bahkan ia sendiri pun tidak bisa melupakan Seungkwan juga perasaan yang diungkapkannya beberapa waktu lalu. Joshua jelas tau resiko yang akan dihadapi jika nekat meneruskan hubungan mereka ke arah yang lebih serius.
"Maaf ya, Kak."
---
"Kak Vernon?"
Vernon datang dengan dua orang lain yang mengikutinya. Tak seperti kedatangannya saat pertama kali ke kafe tersebut, Vernon hanya mengenakan pakaian santai, dan terlihat akan berpergian sebab membawa serta sebuah tas gendong.
"Seungkwan kesini gak? Sekarang yang nganterin cake siapa?"
"Sejak sakit beberapa minggu lalu itu, kak Seungkwan jadi jarang ke sini kak. Kadang dateng sih, tapi gak kaya dulu..."
"Seungkwan sakit?"
Karyawan tersebut menjelaskan semua informasi yang ia tau, meski hanya sedikit. Tentang pekerjaan yang dulu biasa Vernon lakukan, ataupun kondisi Seungkwan belakangan ini. Vernon semakin khawatir.
"Maaf ya, Kak. Sebenernya kita juga udah dilarang sama bapak buat nerima kakak kalo sewaktu-waktu dateng ke sini. Jadi mending kakak pulang aja, aku gak mau dipecat Kak..."
Vernon tentu bisa mengerti mengapa Seungcheol melakukan hal tersebut. Seungkwan sangat dilindungi oleh keluarga Seungcheol, dan apa yang dilakukan Vernon kemungkinan besar sudah merusak kepercayaan mereka.
"Tuan..." pengawalnya mulai meminta Vernon untuk beranjak, mereka harus segera pergi sebab masih punya banyak urusan.
"Maaf ya," pamitnya pada karyawan tersebut, ia bisa mengerti kode yang diberikan. "Makasih juga buat semua infonya..."
"Pak, pinjem dompet dong," pinta Vernon pada pengawalnya sesaat sebelum keluar kafe, namun sempat ditolak. "Gak bakal buat kabur lagi, cuma mau beli kue masa gak boleh?"
Vernon kembali ke meja kasir dan memesan beberapa kue. Ia juga memberikan sebuah kartu nama, namun milik pengawalnya kepada karyawan kafe tersebut.
"Hubungin nomer itu kalo lo beneran dipecat, ya? Gak usah sungkan, anggep gue punya utang sama lo."
Btw, masih agak lama sih, tp mau ending yg angst aja atau angst banget? Wkwk. Kalian tim verkwan kan? Masa iya tim booshua? :")
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?