See You

1.4K 126 1
                                    


"Siapa, Kwan?" tanya Jeonghan saat pintu depan diketuk. Seungkwan keluar untuk memastikan hal tersebut, kemudian meletakkan barang yang tengah ia bereskan sejenak. Ia sudah memutuskan bersedia tinggal bersama Jeonghan serta keluarga kecilnya.

"Temen kak. Kakak berangkat duluan aja, biar aku nanti kesana naik taksi," jawab Seungkwan saat mengetahui siapa tamunya, Joshua.

"Gak deh. Kakak mau keluar dulu cari makanan buat kita sama bapaknya yang ngurus pindahan," tutur Jeonghan. Ia meminta seseorang untuk membantunya membawa barang meski tak banyak. Jeonghan harus menjemput Seunghan dari sekolah, dan ia juga tak mungkin membiarkan Seungkwan bersiap untuk pindah seorang diri dalam keadaan mengandung.

Jeonghan kemudian berpamitan singkat kepada Joshua, juga Seungkwan dan membiarkan keduanya membicarakan perpisahan singkat. Segala persiapan hampir selesai ketika Joshua tiba, sehingga Jeonghan merasa masih cukup waktu.

"Kok mau pindah gak bilang-bilang dulu? Kemana?" tanya Joshua kepada Seungkwan yang datang membawa dua cangkir teh. Keduanya mengobrol di teras, sebab merasa aneh untuk berdiam di dalam ruangan yang sudah dibereskan sedemikian rupa.

"Tinggal sama sepupu yang barusan keluar, Kak," jawab Seungkwan. "Mau ngabarin, tapi takut..."

"Terus mau pergi gitu aja? Gue ditinggalin dan gak dipamitin? Gak dikasih tau apa-apa? Alamat yang baru juga gak dikasih tau?"

Seungkwan terbahak, sedikit terhibur dengan respon Joshua yang menggebu, "kayanya sejak kakak confess tuh jadi dramatis gak sih?"

"Ya gimana gak dramatis, orang lo aja begitu," jawab Joshua masih tak terima. "Gak deh, jujur aja Kwan. Kenapa gak ngabarin dulu kalo mau pindah?"

"Ihh, udah dibilang mau pamitan tapi takut."

"Takut apa? Nangis?" tanya Joshua menggoda. "Lo beneran takut nangis kalo pamitan dan pisah sama gue?"

Joshua tersenyum penuh arti, sementara Seungkwan menahan rasa malu. Keduanya sama-sama takut membuat kesimpulan yang salah.

"Kakak kesini tadi niatnya ngapain? Ngajak keluar?"  tanya Seungkwan mengalihkan pembicaraan, Joshua memang tidak memberi kabar akan kedatangannya hari ini kepada Seungkwan.

Joshua tak segera menjawab. Ia meminum tehnya dan mengambil nafas panjang, "kangen aja... makanya gak ngechat duluan juga."

Keduanya terdiam cukup lama, hingga akhirnya saling mencuri pandang dan tersenyum bersamaan.

"Apaan sih ah," protes Seungkwan. "Nyebelin banget kalo kaya gini tuh."

Menyebalkan memang. Apa yang dikatakan Seungkwan tidaklah salah, sebab Joshua juga merasakan hal yang sama. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang bersedia berada di posisi keduanya. Saling mengenal untuk waktu yang lama, menghabiskan banyak memori bersama, lalu terjebak dalam perasaan yang jauh berbeda. Rasanya amat tidak menyenangkan.

"Emang gak boleh kangen apa..." ucap Joshua sedikit berbisik, dan Seungkwan juga pura-pura tak mendengar hal tersebut. Suasana kembali hening, dan terasa semakin menyebalkan untuk Joshua membuat percakapan keduanya menjadi canggung.

"Mau dibantuin apa gitu? Atau, gue anterin ke alamat yang baru aja gimana?"

"Udah beres semua kak. Gue ntar ikut mobilnya kakak sepupu, barangnya ngikutin."

"Tinggal berangkat doang ya?" tanya Joshua lagi. "Ohhh ini tuh kalian belom pergi karena gue dateng? Ohhhh... Maaf."

Seungkwan kembali terhibur dengan Joshua yang sibuk meminta maaf, dan suasana kembali hangat dalam sekejap. Ia akan sangat merindukan saat seperti ini, saat dimana ia bisa bertukar cerita serta tertawa bersama tanpa ada perasaan lain yang membuat keduanya terbatasi.

"Gak gitu kaaakk..." jawabnya menahan tawa. "Kan mobil satunya emang belom dateng, ya ntaran dikit berangkatnya."

"Kakak gak mau beliin roti gitu? Buat salam perpisahan?" lanjut Seungkwan.

"Perpisahan apa coba? Gak mau!" jawab Joshua pasti. "Kalo mau, ya kita harus ketemu kaya biasanya, baru gue beliin."

Tak lama, mobil sewaan Jeonghan tiba dan Seungkwan mempersilakan sang sopir untuk mengangkut satu persatu barangnya. Ia menghubungi Jeonghan untuk memberitahukan hal tersebut.

"Gue pulang duluan deh, biar kalian juga cepet berangkat," ujar Joshua, ia sempat membantu Seungkwan membawa barangnya ke dalam mobil Jeonghan meski hanya berbobot ringan. "Tadinya pengen ngeliat lo yang jalan duluan gitu, tapi makin kerasa banget ditinggalnya..."

"Kenapa? Kakak takut nangis?" goda Seungkwan menirukan kalimat Joshua tadi.

"Jangan jadi jauh ya?" pinta Joshua dengan serius. "Gue minta maaf udah confess ke lo, terus abis ini juga jarak kita bakalan jauh. Tapi please, hubungan kita jangan sampe ikutan renggang."

Seungkwan menahan air mata agar tak turun di saat seperti ini, ia takut tak bisa menahan perasaannya sendiri dan membuat Joshua juga ikut bersedih.

"Nanti kita berkabar lagi, Kak. Jangan khawatir ya?" ujar Seungkwan dengan senyuman terbaik yang ia punya, dan Joshua mengusap rambutnya dengan hangat.

"Baik-baik disana, kita ketemu lagi kapan-kapan," pamit Joshua sebelum masuk mobil. "Jaga diri, jangan cuma fokus sama dedek bayi aja..."

Seungkwan mengangguk dan mencoba meresapi pesan dari sahabatnya itu. Ia memang merasa lebih memperhatikan bayinya daripada mengurus dirinya sendiri, padahal sang janin tumbuh dan berkembang di dalam raganya. Seungkwan berjanji dalam hati untuk lebih menjaga kondisinya sendiri.

"Keliatan baik banget orangnya, udah lama kenal?" tanya Jeonghan yang ikut mengamati perginya mobil Joshua.

"Hmmm, udah lama kak. Emang baik banget."

Seungkwan mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh, walau hanya beberapa tetes. Terlepas dari pernyataan cinta Joshua, ia tetap merasa sedih harus berpisah dengan sosok yang selalu mendukung juga menemaninya selama ini.

"Udah yuk, kita berangkat. Nanti sampe sekolahnya Seunghan pasti pas dia pulang."

Mendengar hal tersebut, Seungkwan segera bergegas. Ia tentu tak menginginkan Seunghan untuk menanti jemputannya yang terlambat. Keduanya kembali ke dalam rumah kontrakan tersebut sekali lagi, memastikan tak ada barang yang terlewatkan. Dan setelah dirasa benar-benar bersih, keduanya beranjak.

Seunghan turut senang dengan kehadiran Seungkwan di rumahnya, terlebih saat anak laki-laki tersebut mengetahui bahwa tak lama lagi ia akan mempunyai adik keponakan. Kedua orangtuanya juga merasakan hal yang sama, Jeonghan senang bisa membantu adik tersayangnya, Seungcheol pun bahagia melihat istrinya kini punya teman mengobrol di rumah, terlebih pasca kehilangan buah hati mereka.

"Sayang... Masa orang hamil kamu suruh kerja? Udah biarin di rumah aja, gak usah kerja. Kasian..." tawar Seungcheol saat melihat Seungkwan tengah bermain dengan Seunghan. Ia juga sama tak teganya dengan sang istri.

"Maunya juga gitu, tapi Seungkwan gak akan mau diajak kesini kalo cuma buat diem di rumah."

Seungcheol berusaha mencari cara lain agar tetap meminta Seungkwan untuk tinggal, tanpa harus membuatnya kerja berat. Keluarganya hanya berniat membantu Seungkwan untuk hidup lebih layak bersama sang bayi, bukan untuk memintanya bekerja.

"Aku beliin oven lagi gimana? Kamu baking beberapa cake di rumah, biar dibantuin Seungkwan. Yang praktis aja, yang gak terlalu ribet," usul Seungcheol final.

"Ih! Ide bagus tuh, lega juga kalo baking di rumah. Nanti sisanya aku suruh karyawan kafe juga bisa kok sayang," jawab Jeonghan antusias. Lagipula, roti serta beberapa jenis kue lain hanya menu tambahan di kafenya. Ia masih bisa membuatnya di rumah dengan dapur yang lebih luas, kemudian mengantarnya untuk dijual.

"Aku pesenin oven sama peralatannya dulu. Besok kamu belanja bahan sama Seungkwan, sambil ngomong lagi pelan-pelan. Okay?" jelas Seungcheol dan keduanya sepakat.

Our mistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang