"Kak Han?"
"Boleh masuk gak?"
Jeonghan memeluk Seungkwan yang masih sedikit kebingungan. Ia mendekap keponakannya itu dengan hangat, sebab rasa rindu setelah lama tak bertemu. Jeonghan merupakan anak dari kakak kandung ibunda Seungkwan, satu dari beberapa saudara yang memiliki hubungan paling dekat dengannya. Keduanya terakhir bertemu saat pemakaman ibunda Seungkwan, dan jarang berkabar setelahnya. Dan hari ini, Jeonghan datang berdua dengan putranya yang berusia 4 tahun, setelah beberapa minggu lalu panggilan telfonnya ditutup sepihak oleh Seungkwan.
"Maaf ya kak, berantakan dikit. Belom sempet beberes tadi."
Jeonghan mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah kontrakan tersebut. Terlihat rapi, tak seperti basa-basi yang Seungkwan sampaikan. Sebab Seungkwan hanya segan untuk menyambut tamu dari orang berada seperti Jeonghan masuk ke dalam rumah yang seadanya. Suami dari Jeonghan merupakan pengusaha muda yang sukses, itu sebabnya Seungkwan segan untuk sering berhubungan dengannya.
"Udah... Yuk, duduk. Kita ngobrol dulu," pinta Jeonghan sambil meletakkan vacum cleaner yang sedari tadi dipakai Seungkwan.
"Mau minum apa kak?" tanya Seungkwan. "Seunghan mau apa sayang? Kukis atau coklat?"
Seungkwan bergegas ke dapur untuk mencari beberapa cemilan terlebih dahulu, lalu kembali untuk memastikan pesanan minuman Jeonghan. Setelah selesai membuat teh, Seungkwan membuka tirai untuk membiarkan sinar matahari masuk. Ia jarang berada di rumah, hingga kadang terlupa untuk sekedar membuka jendela.
"Repot sendiri kamu tuh, Kwan. Udah sini, kasian dedeknya..." pinta Jeonghan lagi dan Seungkwan berhenti bergerak.
"Bukan gitu kak... Tapi..."
Jeonghan memang memperhatikan perubahan bentuk tubuh sang adik dengan seksama sejak ia sampai, dan dengan mudah mengenali perbedaannya. Meski Seungkwan mengenakan pakaian yang cukup longgar, namun dari caranya berjalan serta membersihkan ruangan sudah bisa membuat Jeonghan paham. Sedikit terkejut memang, tapi Jeonghan tak ingin membuat Seungkwan merasa tak nyaman. Niat awalnya adalah untuk memastikan sang adik baik-baik saja, maka ia dengan sabar menunggu Seungkwan membuka perasaannya. Jeonghan menggenggam tangan Seungkwan dengan erat, sementara Seungkwan masih kebingungan untuk bercerita.
"Kamu baik-baik aja, dek? Makannya teratur kan?"
Bukan tentang kehamilannya, ataupun pertanyaan mengenai ayah dari sang buah hati. Jeonghan memilih untuk menanyakan mengenai keadaan adiknya terlebih dahulu, dan hal tersebut membuat Seungkwan semakin merasa miris. Ia tak sanggup menerima perhatian sebesar itu disaat orang-orang bisa saja langsung menghakiminya.
"Kok diem? Masih sibuk kerja kah? Tiap pulang ke rumah Mama, kakak jarang ketemu kamu. Pernah tanya Om juga, tapi katanya kamu kerja terus."
Seungkwan menggeleng dan tersenyum, "kayanya, abis ini aku udah gak bisa kerja lagi sih kak..."
Pada acara terakhir yang ia pandu, Seungkwan mulai menyadari bahwa pakaian yang ia pakai untuk bekerja mulai terasa tak nyaman. Di rumah ia bisa saja mengenakan kaos longgar, perutnya yang sedikit buncit juga tersamarkan. Namun untuk pekerjaan, tak banyak pilihan kemeja yang bisa menyamarkan hal tersebut, baik miliknya atau dari penyelenggara acara. Seungkwan nampaknya harus berhenti bekerja di titik ini.
"Kemaren ngerasa aneh banget waktu telfonnya dimatiin, karena kamu gak biasanya begitu. Makanya kakak sempetin kesini."
Jeonghan mengeratkan genggamannya, sesekali juga mengusap punggung tangan Seungkwan dengan lembut. Ia tak ingin terkesan terlalu ikut campur urusan pribadi sang adik.
"Maaf kak, aku bingung aja. Denger suara kakak rasanya pengen nangis..." jawab Seungkwan semakin tertunduk sendu. "Ada niat nelfon balik buat nanyain sesuatu, tapi belom sempet."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?