"I love you," ucap Joshua sambil menatap Seungkwan dengan seksama setelah berpikir ulang beberapa kali.
"I love you, since long ago..." Joshua mengulang pernyataannya lagi, dengan lebih serius dari sebelumnya. Ia hanya ingin menghentikan Seungkwan dan pemikirannya. Joshua memang sedikit merasa khawatir, namun bukan semata hanya ingin mengasihani.
"Kak..."
"Gak sadar kah? Selama ini gue gak cuma nganggep lo adek, tapi lebih dari itu. Gue sayang sama lo bahkan sebelum keadaannya jadi begini, dan bakal terus seperti itu..."
Seungkwan kehilangan kata, setelah tadi ia begitu menggebu untuk membela diri juga sang janin dari perhatian tulus Joshua. Ada sedikit rasa sesal di hatinya, mengingat pada dasarnya Joshua memang orang yang baik, dan tak seharusnya Seungkwan menyalahartikan perhatian Joshua sebatas rasa kasihan saja.
"Maaf kalo lancang ya... Gue takut gak ada waktu untuk bilang perasaan ini ke lo. Maaf juga kalo kesannya gue gak ngehargain posisi ayah dari bayi itu," lanjut Joshua sedikit tertunduk malu, ia tak berani menatap Seungkwan yang masih begitu terkejut dengan pernyataannya.
"I'm sorry, Kwan."
"Kakak tiba-tiba bilang begitu sekarang karena takut gue bakalan nikah sama orang lain gitu?" tanya Seungkwan setelah beberapa saat, dan Joshua mengangguk malu.
"Sama biar lo ngerti aja sih, ini bukan sekedar rasa kasian. Gue gak suka pikiran kaya gitu, di saat lo aja masih bisa kerja dan mandiri sampe sekarang."
Seungkwan tersenyum, berharap Joshua tak merasa segan atas ucapannya barusan. Ia tau betul niat lawan bicaranya baik, jauh lebih baik dibandingkan orang yang Joshua tengah jaga perasaannya.
"Gue bakal jadi ibu sekaligus ayah dari bayi ini kak." ucapnya, yang kini berbalik membuat bingung Joshua. "Kakak gak perlu ngerasa gak enak buat ngomong. Dia yang kakak maksud itu gak ada."
"Maksudnya?"
"Ya... Gue gak akan nikah sama ayah dari bayi ini, Kak. Jadi single parent, hehe..."
Jika boleh jujur, Joshua sedikit merasa lega mendengar hal tersebut. Pujaan hatinya belum akan bersanding dengan orang lain dalam waktu dekat, dan kesempatan untuknya mencoba mungkin saja masih ada. Namun, membayangkan Seungkwan akan merawat bayinya kelak tanpa turun tangan, serta tanggung jawab dari ayah bayi tersebut juga membuat hati Joshua merasa semakin miris.
"Makasih kak, buat kejujurannya," jawab Seungkwan. "Tapi maaf, gue gak bisa bales perasaan itu kak. Apalagi dengan keadaan kaya gini."
Seungkwan memainkan sendok tehnya dengan tenang, pikirannya semakin kalut. Ia memang tak lagi peduli jika hidup terus saja mengejutkannya, namun penat tetaplah dirasa. Seungkwan masih sanggup mengikuti arus kehidupan yang kerap kali menghanyutkan, namun ia juga ingin menepi dan beristirahat.
"Pasti kaget banget ya, denger gue bilang kaya gitu. Gue juga gak berharap banyak lo bisa bales perasaan ini sih..." tutur Joshua.
"Kakak juga kayanya kaget, denger kalo anak ini gak bakal punya ayah."
Joshua meminum sisa kopinya, dan bimbang untuk menentukan apa yang harus ia perbuat kini. Cuaca di luar tak begitu baik, hujan deras turun sejak beberapa saat lalu. Keduanya kemungkinan besar tak bisa mencari tempat lain untuk mencari makanan berat, setelah obrolan mereka yang penuh dengan kejutan hari ini, rasanya teramat canggung.
"Gue gak tau lagi mau komen apa. Tapi please inget ya, gue diem bukan karena kasian. Beneran bingung soalnya..."
Seungkwan tersenyum, "iya kak, hehe. Maaf lhoh ya, udah bikin bingung."
Joshua mengantarkan Seungkwan pulang tanpa banyak perdebatan. Mereka sama-sama sepakat untuk menyudahi pertemuan hari itu lebih awal dari biasa, sebelum suasananya berubah semakin tak mengenakan.
"You know, I'll always here when you feel like everything's getting harder," tutur Joshua saat membukakan pintu dan membantu Seungkwan turun dari mobil.
Seungkwan sepenuhnya menyadari, bahwa hidupnya bisa semakin berat dari hari ke hari. Janinnya akan terus bertumbuh, dan cepat atau lambat ia akan kesulitan mencari uang. Belum lagi, ia juga harus menjelaskan mengenai kondisinya ke orang sekitar, dan masih banyak hal lain yang bisa saja di luar kendalinya.Tapi, terlalu memikirkan hal tersebut sekarang pun tak ada gunanya, hanya membebani perasaan saja.
"Ati-ati di jalan, Kak. Makasih juga buat waktunya hari ini," ucap Seungkwan yang dibalas anggukan oleh Joshua. Ia mengamati laju mobil tersebut yang lama kelamaan semakin menjauh, meninggalkannya dengan jejak perasaan yang tak menentu. Seungkwan kembali merasa sendiri.
"Halo?"
Ponselnya berdering, dan Seungkwan spontan mengangkatnya saat hendak membuka kunci rumahnya.
"Kwannie! Apa kabar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?