Day 10
"Om, bahasa Inggrisnya lemari apa?"
"Cupboard?"
"Woahhhh iya."
Vernon dengan sabar menjawab satu persatu pertanyaan yang diajukan Seunghan, meski ia tak terbiasa berkomunikasi dengan anak kecil. Seungkwan juga memperhatikan bahwa Vernon terlihat sedikit kebingungan juga tak nyaman, namun Vernon pun tak menolak dan mengikuti suasana hati Seunghan sebisanya.
"Halo, sayang? Ada apa nih?" ucap Jeonghan dalam sambungan telfon dengan sang suami yang tengah berada di luar kota. "Kok nanyain oleh-oleh sih?"
"Kwan..." Jeonghan menatap Seungkwan dengan tak nyaman, ia baru saja menerima kabar. "Ayahnya Seunghan lagi di jalan pulang."
"Serius kak?" tanya Seungkwan yang ikut panik, sebab ia sendiri yang berjanji akan meminta Vernon pergi sebelum Seungcheol kembali dari perjalanan bisnisnya.
"Seunghan mau belajar sama Om Vernon? Di kamar aja gimana sayang?" tanya Jeonghan kepada sang putra, dan Seunghan mengangguk. Ia menyuruh keduanya untuk masuk kamar, sementara waktu sampai menemukan cara untuk memberitahu Seungcheol. Meski kenyataannya, Jeonghan tau betul bahwa ia tak punya banyak alasan. Belum lagi, ia harus mempersiapkan banyak hal untuk menyambut kepulangan sang suami.
"Hannie mana?" tanya Seungcheol di depan pintu setelah memarkirkan mobilnya, dan Jeonghan tersenyum manis sambil menunjuk ke dirinya sendiri. "Anak kita maksudnya sayang. Tumben bukan dia yang nyambut bukain pintu?"
"Ada, hehe. Di kamarnya," jelas Jeonghan singkat, dan Seungcheol mendaratkan kecupan di pipinya. Tapi sang suami memang tak sabar untuk bertemu dengan putranya, dan tergesa masuk. "Sayang, tunggu dulu. Bentar..."
"Ada apa nih?" tanya Seungcheol kepada Jeonghan yang terlihat semakin panik, juga melirik ke arah Seungkwan yang duduk tak nyaman di ruang tamu.
"Aku mau kamu ketemu sama seseorang, tapi janji gak boleh marah. Okay? Aku bisa jelasin, tapi pokoknya kamu dengerin dulu sambil santai disini."
Seungkwan menyiapkan secangkir teh hangat, juga cemilan lain. Sementara Jeonghan membereskan segala macam barang bawaan sang suami. Setelah selesai dengan semua pengalihan dari rasa groginya, Jeonghan bersiap mengatakan segalanya.
"Siapa sih? Papanya Seungkwan? Atau, siapa? Emang om dateng ke sini?" tanya Seungcheol melihat ke beberapa sudut rumah untuk mencari petunjuk.
"Bukan ihhh, janji dulu gak bakal marah..."
"Ya gak mau lah. Siapa dulu orangnya, baru aku bisa nentuin sikap sayang," tegas Seungcheol yang semakin merasa waspada.
"Kak, biar aku aja yang jelasin aja gimana?" bujuk Seungkwan dan Seungcheol akhirnya bersedia mendengarkan.
Seungkwan langsung masuk pada inti permasalahan dan memberitahukan keberadaan Vernon di rumah itu. Ia juga membeberkan alasan serta masalah yang mungkin saja Vernon tengah hadapi hingga meminta bantuannya. Tak lupa berkali-kali mengucap maaf, serta menyesal karena tak meminta ijin terlebih dahulu sebelum hari ini.
Jeonghan juga tak ingin kalah memberi pembelaan sebab ia merasa jauh lebih panik. Ia juga secara tidak langsung berharap rasa sayang sang suami yang begitu besar kepada dirinya bisa membuat maklum dengan alasannya menerima Vernon di rumah tersebut.
"Kalo kakak gak ijinin, minimal malem ini aja kak. Besok aku bakalan suruh dia pergi, dan cari tempat baru kalo hari udah terang," pungkas Seungkwan, dan kedua kakaknya menatap dengan cukup terkejut. Seungkwan hanya merasa malu hanya bisa merepotkan sang kakak.
"Mana dia?" tanya Seungcheol semakin penasaran. "Mau liat muka orang yang gak punya rasa tanggung jawab itu..."
"Kan kan, udah dibilangin juga. Inget Seungkwan sama bayinya masih perlu tanggung jawab lhoh, jangan diapa-apain..."
Seungcheol mendesak keduanya agar segera mempertemukan dirinya dengan Vernon, dan Jeonghan tak bisa lebih lama lagi menahan sang suami. Seungkwan memanggil Vernon untuk keluar dari kamar Seunghan, memintanya untuk bertemu Seungcheol tanpa memberikan petunjuk apapun atas perintah sang kakak.
"Halo, Kak. Maaf sebelumnya, tapi ijin buat numpang di sini sementara waktu."
Vernon beberapa kali memberikan salam hormat kepada Seungcheol, yang membuat emosinya sedikit reda. Seungkwan menahan rasa takut yang luar biasa, sementara Jeonghan masih terus mengawasi dengan waspada.
"Bisa disuruh bantu ngapa-ngapain Kak, yang penting dikasih tempat buat sembunyi dulu. Tapi kalo disuruh keluar juga gak papa. Makasih udah dikasih tumpangan beberapa hari ini."
Seungcheol belum memberikan jawaban, ia masih sibuk mengamati Vernon dari ujung kepala hingga kaki. Berusaha menahan umpatan yang ia pendam selama ini, juga memilah kata supaya bisa membuat Vernon patuh kepadanya.
"Jadi sopir buat istri gue sama Seungkwan, kemanapun mereka mau pergi. Angkat galon, buang sampah, nyuci piring atau mobil. Kalo gue gak ada di rumah, pastiin semuanya aman. Tiap malem pintu sama jendela dikunci dan dicek berkala. Temenin Seunghan main, awasin dia kalo istri gue lagi sibuk. Pokoknya lakuin apapun yang lo bisa dengan tangan mulus yang mungkin gak pernah kerja itu..." ucap Seungcheol dengan tenang, tatapannya tetap mengintimidasi. Namun dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa Seungcheol menerima Vernon di rumahnya.
"Sama satu lagi..."
Jeonghan maju selangkah dari tempatnya, dan bersiap meraih tangan sang suami, jika saja ia akan melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan.
"Gue gak peduli, lo di luar sana seberapa kaya, anaknya konglomerat siapa. Tapi disini, lo harus nurut aturan yang udah gue bikin dan dilarang berbuat seenaknya sama anggota keluarga gue, apalagi Seungkwan."
"Iya, Kak."
"Lo udah brengsek banget sama adek gue, jadi gak usah sok berlagak di sini."
Vernon mengangguk, tanda bahwa ia menyetujui semua persyaratan dari sang pemilik rumah. Ia juga berulang kali mengucapkan terimakasih dan berjanji akan menjaga perilakunya selama menumpang. Mendengar hal tersebut, Seungcheol menggandeng Jeonghan untuk beranjak, dan istirahat di kamar pribadi mereka. Tak memberikan basa-basi lain.
"Maaf ya," ucap Seungkwan pada Vernon saat rumah sudah kembali tenang dan kondusif. "Kak Seungcheol sebenernya baik kok, cuma emang agak keras..."
"It's okay, lo gak perlu minta maaf. Lagian semua yang diomongin kak Seungcheol juga bener, dan gue disini cuma numpang."
Vernon terdiam dengan ekspresi yang nyaris tak bisa dibaca, dan Seungkwan semakin merasa tak tega.
"Aku bakalan bantu kerjaan kamu besok, tenang aja," tutur Seungkwan lagi mengingat perintah sang kakak untuk Vernon yang cukup banyak.
"No, i'm fine with that," jawab Vernon pasti. "Gak usah mikirin itu ya? Kasian dedeknya nanti."
Seungkwan kembali merasakan sesuatu saat Vernon tiba-tiba bisa menaruh empati kepada bayinya, ia terdiam cukup lama.
"Beneran, gue gak papa. Mending lo istirahat gih, udah malem," ucap Vernon dengan senyum tulus. Hari semakin malam, ia sudah mendapat ijin dari pemilik rumah, tak ada lagi yang Vernon khawatirkan kini. Maka ia menyuruh Seungkwan untuk berhenti khawatir juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?