"Han masih di bawah, nyiapin makan. Kenapa kaya kaget banget sih?" tanya Seungcheol saat masuk ke kamar Seungkwan. Sudah beberapa hari Seungkwan seperti menghindarinya, seolah takut untuk bicara atau bahkan sekedar menyapa. Jeonghan sudah menyampaikan permintaan maaf Seungkwan, dan mendapatkan respon positif dari Seungcheol. Namun adiknya belum benar-benar bisa menghilangkan rasa segan dan bersalahnya.
"Maaf, Kak. Gak terbiasa aja ngobrol berdua kalo kakak lagi di rumah."
Seungkwan kemudian berusaha duduk untuk berbicara menghadap sang kakak, yang sebenarnya terlihat tenang.
"Beneran gak papa? Kakak bisa panggilin perawat kesini kalo masih ngerasa gak sehat, Kwan."
"Gak perlu, Kak. Cuma diminta istirahat doang kok. Kak Jeonghan aja yang nyuruh di kamar terus," jawab Seungkwan dengan sedikit bersedih sebab Jeonghan belum mengijinkannya untuk beraktivitas seperti biasa.
"Soalnya, Jeonghan beberapa bulan lalu juga sama di suruh bed rest, dan kakak disaranin bayar perawat. Ya kami pikir, siapa tau kamu juga butuh kan?"
Seungkwan tetap menolak hal tersebut, dan Seungcheol memakluminya.
"Aku gak tau harus bales kebaikan kakak dengan cara apa. Makasih banget pokoknya, Kak..."
"Dari awal kakak cuma pesen, jaga kesehatan kamu aja biar bayinya juga sehat," ujar Seungcheol meyakinkan Seungkwan. "Keluarga kakak pernah ngerasain beratnya kehilangan anak, jangan sampe kamu ngalamin hal yang sama..."
"Dibilangin jangan dimarahin juga," protes Jeonghan yang menyusul masuk dan melihat percakapan keduanya yang begitu serius, Seungkwan bahkan terlihat seperti akan menangis. "Kamu nih..."
"Siapa yang marahin, sayang? Tanya Seungkwan deh, mana ada aku marah..."
Jeonghan meminta Seungcheol untuk minggir dari tempat duduknya, sebab ia hendak membantu Seungkwan untuk makan juga meminum obat.
"Ada yang dateng tuh... Liatin deh, cepet!" paksa Jeonghan kepada sang suami saat bel rumahnya berbunyi, dan Seungcheol menurut. Ia bergegas untuk turun dan melihat siapa tamu yang datang siang itu.
"Gak, Kak. Tenang aja, aku udah gak ngarepin Vernon kok," ucap Seungkwan saat Jeonghan menatapnya seolah ingin menanyakan sesuatu yang sungkan untuk disampaikan secara langsung. "Tamu mah bisa siapa aja kan?"
"Bagus deh kalo kamu udah ngerasa gitu, dek..."
Mungkin tepatnya bukan tidak lagi mengharapkan, Seungkwan hanya berusaha berpikir realistis bahwa jika memang Vernon pulang ke rumah orang tuanya, tak akan ada lagi kesempatan untuk keduanya bisa bertemu. Rasa rindunya tak pernah lenyap, tapi keadaan yang memaksanya untuk mengikhlaskan.
"Siapa?" tanya Seungcheol ketus, melihat seorang laki-laki berdiri di depan rumahnya dengan membawa seikat bunga di tangan. Tak terlihat seperti seorang kurir, penampilannya begitu rapi. Seungcheol juga tak mengenal pria tersebut, dan enggan membayangkan jika ia adalah tamu milik istri cantiknya.
"Permisi, saya temennya Seungkwan. Beberapa waktu lalu pernah dikasih ijin sama kakaknya untuk mampir kesini kalo ada waktu."
"Ohhh, silakan masuk."
Seungcheol sumringah, mendengar bahwa tamu tersebut menyebutkan nama Seungkwan. Ia memintanya untuk masuk, dan duduk di ruang tamu.
"Namanya siapa? Biar saya ke atas dulu, nanyain."
"Joshua."
Seungcheol pergi ke lantai atas untuk menanyakan hal tersebut kepada Seungkwan. Mulanya Jeonghan menolak kehadiran Joshua, sebab adiknya tidak dalam kondisi yang siap untuk menerima tamu. Namun Seungkwan bersedia untuk bertemu Joshua, apalagi mengingat Joshua datang dari jauh.
"Pintunya bisa dibuka aja kalo keberatan..."
"Gak papa kok, masuk aja. Gue minta ke atas, soalnya Seungkwan masih gak enak badan buat turun."
Jeonghan keluar dari kamar tersebut, tempat duduknya kini ditempati Joshua. Ia juga membawa serta nampan dan peralatan makan Seungkwan. Jeonghan sempat menawarkan minuman, namun Joshua menolak.
"Ini beneran gapapa kalo pintunya ditutup?" tanya Joshua, dan Seungkwan mengiyakan. Bunga yang dibawanya kemudian diletakkan di atas meja yang kini tak lagi berhias sebuah vas, Seungkwan menyingkirkannya saat bunga pemberian Vernon mulai mengering.
"Tadi dibilangin sama Han, katanya lo lagi ga enak badan," tanya Joshua. "Kenapa?"
"Pilek doang sih, Kak."
"Kirain kangen sama gue, jadi sakit..." goda Joshua seperti biasa, karena alasan yang diberikan Seungkwan sedikit tidak masuk akal untuknya. Hanya flu, tapi Seungkwan bahkan tidak diijinkan untuk bergerak banyak apalagi turun ke lantai bawah, Joshua merasa khawatir dengan keadaannya.
"Bercanda ya..."
"Gue sampe bingung mau respon apa kak," jawab Seungkwan dengan tawa, namun sesekali air mata masih menghiasi sudut matanya. "Tapi, makasih udah mau dateng lagi ke sini. Lain kali, bisa deh ketemu di tempat biasanya, Kak..."
"Di bakery? Beneran gak?"
"Beneran dong. Sebenernya ada paket di kontrakan lama kak, rencananya mau gue ambil terus ngobrol sama kakak."
"Ohhh, oke. Gue tunggu kalo gitu..."
Mulanya memang benar jika Seungkwan ingin menemui Joshua, dengan tujuan untuk membicarakan perihal hubungannya dan Vernon, agar Joshua tak lagi repot menunjukkan perhatian kepadanya. Tapi semuanya berubah dengan cepat tanpa Seungkwan sadari, rencananya gagal dan ia kebingungan untuk memberi reaksi. Hubungan yang baru terlihat akan berjalan baik, harus kandas bahkan sebelum diresmikan. Seungkwan tak mengerti harus bersedih untuk apa di situasi tersebut.
"Kenapa, Kak?" tanya Seungkwan saat Joshua terlihat kebingungan.
"Gue tadi bawain kukis, kayanya ketinggalan di bawah deh..."
"Kukis?"
"Iya, buatan nyokap. Mau bawa cheesecake, tapi di kafe ada kan? Mau bawa croissant takutnya lo mulai bosen..." jelas Joshua, dan membuat Seungkwan semakin tak enak hati. Kehadiran Joshua mungkin belum cukup untuk menghilangkan kepedihan yang Seungkwan rasakan saat ini, namun tetap membuatnya bersyukur karena telah dikelilingi oleh orang-orang yang sangat memperhatikannya.
"Selalu deh, sukanya repot sendiri kalo ke sini."
"Makanya, cepet sehat ya? Biar gue bisa gantian minta lo bikinin minuman lagi di kafe," balas Joshua dengan senyum manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our mistake
FanfictionVernon dan Seungkwan baru pertama kali bertemu, namun sudah melakukan kesalahan saat keduanya dalam keadaan cukup sadar. Lalu, mengapa hanya salah satu diantara mereka yang berani mengakui, dan diminta bertanggung jawab atas hal tersebut?