It's not easy

1.1K 95 0
                                    

Day 33

"Papa jangan kebanyakan minum kopi, nanti asam lambungnya naik lhoh," ucap Seungkwan kepada sang ayah lewat panggilan telepon.

"Terus ini dikirimin buat apa? Dijual lagi?" tanya Papa Boo, dan Seungkwan hanya bisa tertawa.

"Maksudnya tuh dibagi sama adek, Papa sayang..."

"Siapa?" bisik Vernon dari kejauhan dan Seungkwan mengisyaratkannya untuk tenang. Vernon tetap mendekat, dan duduk diam di hadapan Seungkwan.

"Yaudah, nanti telfon lagi deh. Salam buat adek-adek sama Tante," pungkas Seungkwan mengakhiri sambungan teleponnya.

"Papaku, hehe..." jawab Seungkwan kepada Vernon yang menunggunya.

"Abis dedek lahir, aku mau bilang ke Papa kamu tentang semuanya. Apapun responnya, yang penting bilang dulu," ucap Vernon tiba-tiba dan membuat Seungkwan heran.

"Emang berani?"

"Berani, tapi sama kak Seungcheol, hehe..." jawab Vernon. Ia pernah diberitahu tentang hal tersebut oleh Seungcheol, dan menyetujui untuk bertanggungjawab juga menemui keluarga Seungkwan nantinya. "Kalo ditanya kenapa gak sekarang aja, aku ngerasa uangnya belom cukup."

"Kamu tuh gak mau pulang? Mama kamu gimana kabarnya sayang?"

Vernon tak bisa menjawab, hatinya bimbang. Ia juga merindukan sang ibu dan mengkhawatirkan keadaan beliau. Namun sulit untuknya kembali ke rumah, apalagi bertemu ayahnya yang kemungkinan besar enggan mengerti keadaan serta hubungannya dengan Seungkwan.

"Aku mendingan mohon kerjaan sama kak Seungcheol, daripada balik ke rumah," jawab Vernon yang lebih memilih bermain dengan bayinya ketimbang menatap Seungkwan. "Kamu mau aku pulang? Anak kita nanti gimana?"

"Tapi ya gak mungkin kamu bakal di sini terus kan? Walaupun ada rencana bilang ke keluarga ku, terus keluarga kamu?"

"Gak usah dipikirin, udahlah..." pinta Vernon untuk mengalihkan pembicaraan.

"Aku gak minta kamu kabur dari keluarga kaya gini, gak baik. Kamu mau ngakuin kalo dia anak kamu aja, aku udah seneng kok."

Terdengar bodoh memang, namun Seungkwan sudah pasrah dengan takdirnya. Ia tak lagi meminta Vernon untuk bertanggungjawab lebih, apalagi mengingat status sosial mereka yang sangat berbeda. Belum lagi permasalahan keluarga Vernon yang begitu rumit, Seungkwan tak ingin bayinya nanti turut menjadi korban. Yang ia inginkan kini hanyalah Vernon bersedia untuk mengakui janin dalam kandungannya.

"It doesn't make any sense!" protes Vernon. Ia tak mengerti mengapa Seungkwan bersikeras menyuruhnya pulang. "Gimana bisa aku tanggung jawab kalo disuruh pulang? Kamu tau gak sih? Papa ku bisa ngelakuin banyak cara buat nyelakain kamu, apalagi kalo aku gak disini buat jaga..."

Vernon bangkit dari duduknya, tatapannya juga berubah semakin tegang. Seungkwan bisa kembali merasakan saat dimana ia harus menghadapi sisi Vernon yang keras dan serius. Keadaan berubah dalam sekejap, padahal mulanya semua baik-baik saja.

"Sayang, tenang dulu..." pinta Seungkwan yang mencoba menggenggam tangan Vernon.

"Itu kenapa dulu aku suruh kamu pergi, karena takut sama apa yang bisa Papa lakuin," jelas Vernon dengan nada yang lebih rendah, namun masih terlihat marah di mata Seungkwan. "Tapi sekarang kalo disuruh milih, aku mending jagain kamu lah."

"Nonie okay... Aku bisa ngerti. Tapi tetep aja kamu harus pulang. Kamu mau ketemu sama keluargaku, aku juga maunya gitu ke keluarga kamu..."

"Aku gak mau pulang!" jawab Vernon pasti. "Tolong jangan samain Papa ku sama Papa kamu, karena udah pasti beda."

"Nonie, wait..."

Vernon pergi begitu saja, meninggalkan Seungkwan juga pembahasan yang tak terselesaikan. Ia mencoba menenangkan diri juga berpikir positif atas usulan yang Seungkwan beri, namun sulit. Ia tak bisa menerima, apapun alasannya. Terlebih saat melihat ruangan yang sudah ia persiapkan untuk kamar baru Seungkwan juga bayi mereka. Tak bisa membayangkan jika ia harus kembali ke rumah dengan kemungkinan untuk meninggalkan keduanya.

"Kalo mau ngobrol sama Seungkwan, santai aja Nonie. Gue sama ayahnya Seunghan udah tau kok," ucap Jeonghan, dan Vernon malah menghela nafas dalam. "Mau perhatian, atau ngobrol serius sama dia. Apapun itu..."

"Iya, Kak. Makasih..." jawab Vernon hanya untuk basa-basi. Tatapannya masih tertuju kepada sebuah kasur bayi milik Seunghan dulu, yang Seungcheol berikan pada Vernon untuk digunakan kembali saat bayinya terlahir nanti.

"Ada masalah lagi?" tanya Jeonghan yang kali ini bisa membuat Vernon menaruh perhatian lebih padanya. "Lo mungkin keliatan biasa aja, tapi Seungkwan gak bisa gitu..."

Mau tak mau, Vernon menjelaskan inti masalahnya kepada Jeonghan. Ia juga sadar bahwa kehadirannya di rumah itu mungkin merepotkan untuk keluarga Seungcheol, namun ia berjanji akan terus berusaha untuk mencari jalan keluar lain, asal bukan diminta pulang.

"Gue bingung juga mau ngasih solusi apa, ribet soalnya. Gue juga bakal mikir hal yang sama kaya Seungkwan, tapi bukan berarti pengen ngusir lo sekarang ya..." jawab Jeonghan setelah mendengar sedikit penjelasan Vernon. Baik Seungkwan maupun Vernon punya pembelaan masing-masing, dan keduanya masuk akal di mata Jeonghan. "Diomongin pelan-pelan aja."

"Gue ngehindar juga karena tau kalo udah mulai emosi, Kak. Gak mau kalo sampe keluar kata kasar ke Seungkwan," jawab Vernon dan Jeonghan sangat memakluminya. Baru kali ini Vernon menjalin hubungan ke arah yang serius dengan seseorang, dan ia tak menyangka banyak hal yang harus disesuaikan antara satu sama lain.

"Ini bukan belain Seungkwan apa gimana, tapi dia lagi hamil dan sensitif banget. Kalo bisa sih, sebelum tidur kalian mending baikan dulu..."

"Nanti gue bilang baik-baik, Kak."

---

"Kamu tuh gak bisa duduk diem ya ternyata..." sapa Vernon saat melihat Seungkwan tengah melipat beberapa baju, dengan lemari yang terbuka lebar. "Perasaan kemaren udah abis bongkar isi lemari."

"Kemaren aku beresin karena Kak Jeonghan beliin itu," jawab Seungkwan menunjuk pada tumpukan pakaian bayi di hadapannya. Ia harus menghemat biaya untuk keperluan lain ketimbang harus membeli lemari pakaian khusus bayi, jadi Seungkwan memilih untuk meringkas barang di lemarinya.

"Kangen..." Vernon kini ikut duduk di lantai, untuk kemudian memeluk Seungkwan dari belakang.

"Kangen kaya apaan aja sih," jawab Seungkwan saat tangan Vernon mulai bermain dengan perutnya, dan sang bayi memberikan respon seperti biasa. "Tuh, udah dijawab sendiri sama anak kamu."

"Mamanya gak kangen?" tanya Vernon dan Seungkwan menekuk bibirnya. "Hehe, kan cuma nanya..."

"Jujur, aku takut banget kalo kamu ngomong kaya tadi," ucap Seungkwan sambil memainkan jemari Vernon yang masih melingkar di pinggangnya. "Kirain diemnya kamu tuh udah serem, sampe lupa kalo kamu marah juga serem banget."

Vernon mengubah posisinya untuk menghadap Seungkwan, agar lebih jelas dan leluasa melihat ekspresinya.

"Maaf karena aku masih suka emosian, beneran bingung tadi," ucap Vernon, dan Seungkwan menahan haru. "Maaf juga karena minta maaf terus, tapi belom berubah..."

"Aku liatnya gak gitu, kamu udah cukup banyak berubah kok sayang. Pelan-pelan aja."

"Biar aku yang mikirin masalah tadi. Kamu tenang, ya?" lanjut Vernon sambil mengusap rambut Seungkwan perlahan. "Fokus jaga kesehatan kamu sama dedek aja, jangan overthinking hal lain."

"Aku juga gak pengen kamu pergi, sama sekali. Aku cuma gak mau kamu jadi jauh sama keluarga, apalagi kamu sekarang anak satu-satunya..."

Our mistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang