Ketenangan Floryn yang sedang makan, mesti terganggu sebab seorang mahasiswi yang masih satu jurusan dengannya datang menghampiri. "Gue denger-denger lo buka joki?"
Floryn menatap mahasiswi itu sangsi. "Kata siapa?" tidak mungkin Zello. Si bos tengilnya itu mana mungkin mau berbagi informasi, apalagi urusan tugas yang dikerjakan orang lain lalu dirinya tinggal bayar.
"Chia, mana katanya murah lagi."
Apa-apaan?! "Jangan percaya, gue aja ngerjain tugas gue sendiri ogah-ogahan," sangkal Floryn cepat.
"Bohong lo kan anak rajin," mahasiswi itu masih keukeuh.
"Gue nggak buka joki, pergi lo." Floryn dengan kasar mengusir. Lagipula mau-mau saja dibodohi Chiara.
"Dih, santai kali." sekalipun tidak diusir, mahasiswi itu juga tetap akan pergi.
Selepas perginya mahasiswi tak diundang itu, ponsel Floryn berdering. Floryn sudah menebak itu adalah panggilan telepon dari bos-nya. "Apa?"
Bukannya langsung pada intinya, sebuah tawa justru terdengar pertama kali saat panggilan itu diterima. "Tawa mulu lo, gigi lo kering ntar. Cepet, apaan?"
"Kayak masker lo, sensi. Dimana, Blo?" pasti sebentar lagi Floryn akan mendapat tugas mulia.
"Kantin."
"Ngapain?"
Floryn berdecak kesal. "Ya makan, tolol."
Terdengar helaan napas kecewa. "Baru mau gue ajak makan," katanya berterus terang.
"Tinggal makan aja sendiri, anak Bunda lo."
Memahami Zello memang rumit. Lebih rumit dari statistika. Terlebih pengakuannya yang sekarang, "Gue nggak bisa makan sendiri, Blo. Gue baru aja jatoh dari motor."
Wajah Floryn masih sama datarnya mendengar itu. "Tangan lo buntung?"
"Sembarangan! Udah pokoknya lo beliin gue makan terus bawain ke kelas gue, ya?" panggilan itu langsung ditutup begitu saja.
Meski kesal, Floryn tetap menghabiskan sisa makanannya dan membelikan makanan di kantin untuk Zello. "Jatoh dari motor masih bisa masuk kelas, sakti amat." ya—sambil menggerutu.
Floryn membelikan bubur ayam—bukan karena Zello yang baru saja mengaku sakit atau jatuh dari motor, tetapi karena Zello sangat menyukai bubur ayam. Selesai membeli, dengan langkah ringan, Floryn menuju ke kelas yang Zello maksud. Di gedung FEB.
Beberapa pasang mata tak mampu untuk tak acuh pada kehadiran Floryn di gedung FEB, yang meski mereka tahu pastinya Floryn datang ke sana untuk menemui siapa. Begitu sampai di kelas Zello, sudah ada protes keras yang mengganggu pendengaran Floryn, "Lelet lo kayak siput!"
"Masih untung gue beliin," sewot Floryn, menaruh bubur di atas meja yang Zello duduki. "Jangan duduk di meja, goblok. Pantat lo bisulan, mampus."
Zello mengembangkan senyum dan bergerak turun, menuruti untuk duduk di kursi. "Thank you, Blo. Sweet banget beliin bubur."
Kan? Nggak jelas.
"Mau nggak?" tawar Zello, jelas tidak serius karena Floryn tidak suka bubur.
"Mual gue liatnya doang," dan komentarnya selalu sama. Jika bagi Zello bubur adalah makanan terenak yang akan selalu dicarinya dimanapun, maka bagi Floryn sebaliknya, bubur adalah makanan terburuk dari segi rasa dan tampilannya.
"Duduk, Blo. Pantat tepos lo yang bisulan ntar," mulut Zello memang luar biasa, bisa berkata-kata mutiara.
Floryn mendengus sebal, dalam hati tak terima disebut tepos. Badan Floryn tidak setipis pensil. Memang tidak berisi, tetapi menurutnya tinggi dan langsing. Floryn menurut, duduk di kursi sebelah Zello. "Mana, katanya jatoh dari motor?" Floryn memeriksa kondisi Zello lewat tatapan matanya, mengecek adanya luka atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
TACHYCARDIA
Romance"Lo nggak mau naik level dari babu jadi pacar gue gitu?" "Ogah." Kala benci menjadi sesuatu yang dinanti, amarah yang bertukar dengan rasa nyaman, keinginan untuk bersama lebih banyak dibanding yang dipikirkan. Raga yang terikat dengan cinta tidak b...