02 | do not miss it

5.7K 482 96
                                    

Dimata Floryn Eugenia Zola Issaco, anak sulung dari keluarga Antrasena itu tak lebih dari seorang anak manja yang selalu berlindung di belakang ketiak orang tuanya. Tidak mandiri, tidak punya aturan sendiri, tidak bisa menjadi apa-apa jika bukan karena sudah ditakdirkan terlahir mampu.

Floryn membenci anak-anak seperti itu, yang hidupnya dikontrol orang tuanya, tidak punya pendirian, tidak punya pilihan. Anak itu bukan televisi yang bisa orang tua atur sesuka hati menggunakan remot.

Suasana taman dekat perpustakaan milik Fakultas Ekonomi dan Bisnis—FEB, tidak begitu ramai sore ini. Menguntungkan Floryn yang lebih suka sunyi, juga membantu Floryn fokus dalam mengerjakan satu artikel untuk memenuhi tugas sang raja, bos-nya. Siapa lagi, yap benar—Zello Antrasena.

Alasan dibalik banyaknya rasa benci Floryn kepada Zello, sepertinya bermula saat Floryn pertama kali tahu fakultas Zello.

Floryn mengenal Zello dari kecil, Zello yang pandai bermain alat musik, Zello yang punya suara emas—kata orang lain, Zello yang selalu bercerita ingin sekali menjadi musisi atau punya label sendiri, membuat grup band, dan hal sejenisnya, yang semakin membuat Floryn heran saat tahu Zello mengambil program studi manajemen, yang dimana itu bukan Zello sekali.

Sungguh bukan gaya Zello yang kemana-mana membawa stik drum di tasnya, memakai headband di kepala, memori laptop yang isinya penuh dengan proses pembuatan lagu, celana jins sobek dan kaos tipis yang lengan pendeknya selalu digulung, jangan lupakan kalung rantai yang tak pernah absen melilit di lehernya.

Lalu saat ditanya, untuk apa masuk manajemen kalau sehari-harinya bergaul dengan anak-anak seni musik dan tidak mencintai prodi sendiri? Jawaban Zello sederhana. "Disuruh masuk FEB sama bokap."

Semua orang tahu Alkana Antrasena, ayah dari Zello merupakan lulusan FH, namanya sudah terkenal saat dulu masih jadi pengacara magang dan bekerja untuk kantor firma milik ayah dari temannya, Arsen Albuginea. Lalu Alkana memisahkan diri, berdiri sendiri, membuat perusahaan umum sendiri, dengan dirinya sebagai pemimpin yang merangkap menjadi konsultan hukum juga. Karena itu, Alkana butuh pemimpin yang sesungguhnya. Perusahaan tidak mungkin berjalan tanpa Chief Executive Officer—CEO, tanpa koordinator. Keputusan Alkana memasukkan Zello ke manajemen adalah agar suatu saat Zello bisa mengembangkan perusahaannya itu.

Sekalipun Floryn ingin berteriak mencap Zello bodoh, atau terlalu penurut, tetapi Floryn juga tidak bisa menghakimi atas pilihan Zello yang menuruti kemauan orang tuanya. Mimpi Zello menjadi musisi mungkin masih bisa ia capai jika ada kesempatan, tetapi membahagiakan orang tua tidak selamanya semesta beri kesempatan.

Floryn melirik Zello yang tengah asik berbincang dengan seseorang ditelepon, yang bisa Floryn tebak pasti salah satu mahasiswa dari jurusan seni musik yang selalu membuntuti Zello kemana pun.

"Ntar gue telepon lagi, oke ketemu di studio, thanks man." begitu telepon ditutup, ketenangan Floryn langsung lenyap dalam sekejap.

"Lama banget lo ngetik," komentar Zello, tangannya yang tidak bisa diam, memukul meja pelan dengan stik drum yang selalu dibawanya.

"Ngetik juga butuh energi sama konsentrasi, kalau lo terus berisik tugas lo nggak akan kelar ni," ancam Floryn, kesal sekali. Tampang-tampang seperti Zello memang tidak bisa diajak bicara lembut.

Zello melebarkan senyumnya dan menghentikan gerakan memukul meja. Seolah tak pernah putus topik, Zello kembali bicara, "Anak FISIP tugasnya dikit, ya? Gabut banget ngerjain tugas anak FEB." jelas menyindir keras.

"Iya dikit, sedikit air di Aquarium Sea World. Pake nanya lo," sarkas Floryn, yang dianggap lucu oleh Zello.

"Kalau diinget-inget nih ya, Blo," tiba-tiba Zello merubah arah pembicaraan. Blo, atau Bloon, merupakan panggilan Zello pada Floryn saat kecil dan dipakai Zello sampai sekarang.

TACHYCARDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang