Floryn menangis.
Hal yang sangat mustahil ia perlihatkan ke semua orang. Sekalipun ia sedang lelah, isi kepalanya sedang penuh, fisik yang terasa remuk, menangis tidak pernah masuk sebagai pilihannya selama ini.
Namun siapa sangka didepan makam Zola Mariella, ibu kandungnya, ia menangis tersedu-sedu, cukup lama sampai matanya membengkak. Ia amat-sangat rindu pada ibunya yang sudah pergi lebih dulu, meninggalkannya yang masih membutuhkan sosok ibu untuk hidup.
Bohong, saat ia mengatakan ia tak butuh siapapun. Bohong, saat ia merasa tak masalah hidup sendiri. Bohong, saat ia menikmati adanya sepi.
Nyatanya, ia begitu lemah.
Nyatanya, ia butuh didekap.
Nyatanya, ia masih sama.
Sama seperti Floryn kecil yang mudah menangis. Apa yang sering Zello katakan benar adanya. Floryn tak pernah berubah, topengnya mungkin berhasil menutupi semua bentuk luka dan kesedihan, dengan dingin pada semua orang, membuat jarak dan kasar seolah benar tak tersentuh. Sialnya itu palsu. Ada persona lain yang hanya dirinya sendiri yang tahu, persona yang begitu buruk, sebuah sisi dalam dirinya yang sangat dibencinya, sisinya yang lemah.
"Floryn." tangisnya langsung dipaksa berhenti, saat namanya dipanggil.
Floryn mendongak, menatap seorang pria paruh baya yang Floryn ingat namanya Rudholpo. "Bisa bicara sebentar?"
Anggukan pelan menjadi jawaban Floryn. "Bicara disini saja."
Rudholpo mengangguk, tak masalah.
Floryn berdiri, sedikit bergeser menjauhi makam ibunya untuk memperkecil jarak dengan pria tersebut. "Ada apa?"
"Apa kabar, Ryn?" manusia dan basa-basinya tak akan pernah terpisahkan.
Floryn mengedikkan bahunya, tidak menemukan jawaban yang tepat. "Seperti yang Om lihat," terangnya.
"Semoga kamu selalu baik, Ryn. Saya selalu berdoa agar kamu di masa sekarang sudah berdamai dan melanjutkan hidup seperti semestinya." Rudholpo menatap Floryn serius, tatapannya tidak berhenti lepas dari gadis yang sudah seperti anaknya sendiri.
Wajah Floryn tetap datar. "Amin, bisa langsung aja Om?"
Mendengar balasan tak bersahabat dari Floryn, Rudholpo justru tersenyum. "Sudah hampir empat tahun, Ryn."
Jantung Floryn langsung merespon berlebihan. Floryn padahal sudah mempersiapkan diri karena sudah menebak pria itu akan membicarakan apa padanya, tetapi tetap saja memori yang membekas akan selalu menyakitkan untuk kembali dibahas. "Masih hampir kan?"
"Sudah saatnya kamu ikhlas, temui dia, Ryn. Dia merindukan kamu," tandas Rudholpo.
"Berhenti bicara omong kosong, Om."
"Saya bicara yang sebenarnya, kamu tahu sendiri betapa sayangnya dia sama kamu, dia rela melakukan apa saja asal kamu bisa hidup seperti sekarang, apa perjuangan dia selama ini tak pernah ada harganya dimata kamu?"
Tangan Floryn mengepal, sesuatu yang ditahannya akan meledak. Selagi pria itu bicara, yang ada dikepalanya justru memutar pahitnya kenangan, bukan manisnya yang pernah mereka lalui bersama. "Om nggak paham!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TACHYCARDIA
Romance"Lo nggak mau naik level dari babu jadi pacar gue gitu?" "Ogah." Kala benci menjadi sesuatu yang dinanti, amarah yang bertukar dengan rasa nyaman, keinginan untuk bersama lebih banyak dibanding yang dipikirkan. Raga yang terikat dengan cinta tidak b...