Happy Reading All 🤍
"Gue benci, dan akan selalu benci."
Kalimat yang dilontarkan lelaki itu beberapa jam lalu terus terngiang dalam pikiran Aretha. Gadis itu berdecak sebal bercampur dengan tawa kecut. Mengapa bisa seseorang begitu sombong seperti lelaki itu? Ia hanya menanyakan hal yang perlu dijawab 'Ya' atau 'Tidak', tapi mengapa lelaki itu justru berdecak sebal? Padahal Aretha sudah sebisa mungkin menanyakannya dengan nada yang lembut. Ia masih tak menyangka baru saja meminta nomor lelaki angkuh nan keras kepala itu. Seketika ia merasa menyesal dan malu.
"Kamu nggak mau ganti baju dulu? Seragamnya pasti masih dipakai buat besok kan?"
Suara lembut dari wanita paruh baya yang ikut duduk di sebelahnya menyadarkannya. Pundaknya sedikit bergetar karena terkejut, lantas segera mengalihkan pikirannya dan tersenyum. "Udah biasa Ma, dari dulu juga Mama tahu kebiasaan Aretha."
Yang ia panggil sebagai 'Mama' itu hanya tersenyum mendengar jawaban dari gadis yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri. Melati-wanita paruh baya itu tahu persis bagaimana perasaan gadis ini. Ia hidup sebatang kara. Ia terlahir dari rahim sahabat terdekatnya yang kemudian meninggal pasca operasi, dan ayahnya pergi tanpa bertanggung jawab atas semuanya. Maka dari itu ia memutuskan merawatnya sebagaimana ia merawat anak kandungnya. Aretha adalah penghuni panti pertama, karena setelah itu ia memutuskan untuk membangun panti asuhan yang sederhana. Ia ingin semua anak yang sebatang kara memiliki keluarga.
"Makasih, Ma," Aretha mengangkat cangkir berisi seduhan teh vanila yang kemudian segera ia minum perlahan.
Gadis itu memutuskan untuk pulang ke suatu tempat yang benar-benar dapat ia sebut sebagai 'rumah'. Tempat tinggalnya sedari kecil di mana ia masih bermain, makan, mendengarkan musik kesukaannya lewat radio, menonton serial kartun sebagaimana anak kecil pada umumnya. Ia rindu akan kenangan itu. Ia kembali tersenyum kala mengingat masa lalunya.
Sudah setengah tahun sejak terakhir kali ia memijakkan kakinya dalam bangunan sederhana ini. Karena di sisi lain, ia merasa traumanya masih saja menghantuinya, dan setiap hari akan semakin menyeruak seakan perlahan mulai menggerogoti jiwanya. Ia yang sebatang kara dan hidup sendiri, ia yang bahkan tidak pernah sempat melihat wajah kedua orang tuanya, ia yang setiap hari harus menutup telinganya saat suara-suara itu kembali muncul. Bahkan suatu hari ia sempat berpikir jika akan lebih baik dirinya terlahir tuli, Ia lebih memilih tidak pernah dapat mendengarkan suara dari pada hidup dalam kesengsaraan seperti itu.
Gadis itu kembali menyeruput seduhan teh vanila yang disukainya dulu. Dan kini masih sama, terasa menenangkan.
"Kabar anak-anak gimana Ma?" Tanyanya kepada Melati yang sudah ia anggap seperti orang tuanya.
Wajah wanita itu tidak banyak berubah, masih memiliki tatapan teduh dan senyuman manis. Yang Aretha tidak sadari adalah beberapa helai rambutnya yang mulai memutih dan garis-garis wajahnya yang semakin jelas terlihat. Hal itu lantas membuat Aretha sedikit merasa bersalah. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mengunjungi panti asuhan milik Melati. Saat itu, ia ingat tengah merayakan ulang tahunnya yang ke-16 bersama kelima sahabatnya beserta penghuni panti yang antusias menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun' untuk dirinya. Maka dari itu Aslan dapat mengenal Melati dan menitipkan salam padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity;
Teen Fiction[ON GOING] Eternity; Keabadian Pernahkah kalian mendengar seseorang yang memiliki kekuatan sejak lahir? Iya, kekuatan sungguhan. Mungkin banyak terjadi dalam film karangan. Namun percaya atau tidak, Aretha Pricillia dapat melihat aura seseorang hany...