35; A Hope(less)

3 1 0
                                    

Happy Reading All!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading All!

Suara langkah kaki disertai gesekan kertas kerap memekakkan telinga Aretha. Setelah melakukan operasi kecil untuk melepas jahitannya, bangunan luas bercorak krem dan coklat jati menjadi tujuan selanjutnya. Ia berbohong soal tujuannya kepada Meysha. Ia tidak mengatakan jika akan melepas jahitannya hari ini. Ia juga tidak mengatakan jika dirinya memutuskan untuk pergi ke lapas tempat Wijaya ditahan. Sebaliknya, ia berkata ingin mengunjungi Panti Asuhan dan butuh waktu sendiri. Aretha yakin jika ia jujur mengenai tujuannya pasti sahabatnya itu sudah memakinya terlebih dahulu.

Saat ini Aretha sedang menunggu gilirannya untuk dipanggil petugas. Sorot matanya tak henti-hentinya melihat sekeliling, banyak sekali pengunjung lapas hari ini. Suara-suara kegaduhan yang dihasilkan membuat Aretha sesekali berdecak kesal.

Dalam hati ia terus meyakinkan dirinya untuk melihat wajah dari sosok Ayah kandung baginya. Memang benar jika Wijaya sudah berkali-kali mengecewakan dirinya. Kata percaya sudah tidak pada benak Aretha sejak kejadian mengerikan yang hampir merenggut nyawanya. Namun hari ini ia merasa harus berdamai. Jika seandainya pada akhirnya Wijaya masih tetap tidak berubah, setidaknya ia sudah mengunjunginya dan berdamai. Lagi pula setelah persidangan terakhir yang Wijaya lakukan tanpa kehadiran Aretha, Wijaya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman terberat yaitu hukuman mati. Namun lelaki itu bisa-bisanya masih mengajukan banding sehingga putusan hakim berubah menjadi hukuman seumur hidup. Walau begitu Aretha tetap puas dengan putusan hakim. Setidaknya Wijaya tidak akan bisa berkeliaran dengan dosa-dosa yang telah ia perbuat karena ia harus menghabiskan masa hidupnya membusuk dalam penjara.

"Pengunjung atas nama Aretha Pricillia dipersilahkan memasuki ruang besuk."

Salah satu petugas lapas berteriak. Aretha segera bangkit. Satu helaan napas mampu membuat dirinya lebih tenang.

Matanya yang teduh namun menyorot tajam. Tatapannya kosong menghadap lurus, seakan tak menyadari kehadiran Aretha di hadapannya. Pakaiannya khas seperti para tahanan lengkap dengan nomor di dadanya. Rambutnya yang semakin panjang terlihat lusuh. Wajahnya kusam. Bibirnya mengering. Pria berusia 50-an itu terlihat tidak memiliki jiwa, seakan sudah pasrah dengan apa pun yang ia jalani.

Wajah ini... adalah wajah yang membuatnya tertidur selama 2 bulan dan hampir merenggut nyawanya.

Seketika memori ketika pisau yang amat tajam menusuk perut hingga menembus pankreasnya kembali terputar dalam otaknya. Rasa perih yang menjalar seakan muncul kembali. Namun ia segera menepis kejadian lalu itu.

"Waktu anda maksimal hanya lima belas menit." Petugas lapas yang berdiri tegap di sisi Aretha berucap.

Gadis dengan rambut yang ia kepang satu itu segera membuka percakapan. "Bagaimana perasaan anda setelah hampir membunuh saya? Anda puas? Atau belum karena saya masih hidup?" ia bersikap dingin. Geli rasanya masih menyebut sosok ini sebagai Ayah, walau dalam hatinya masih terjadi pergulatan batin seolah terbagi menjadi 2 kubu. Kubu pertama yang meminta Aretha untuk membenci dan enggan berdamai dengan sosok Wijaya, dan kubu kedua yang ingin tetap menganggap Wijaya sebagai Ayah dan memaafkannya.

Eternity;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang