33. Menabrak Domba

6.1K 640 136
                                    

Hari ini Memang bukan hari Jumat, tapi aku pengen update. Kemarin baca ulang dan ternyata kepikiran ide lagi buat lanjutin ehehehehe....
Soalnya aku juga lagi kepikiran cerita baru padahal masih garap proposal skripsi, namun apadaya aku juga tidak bisa menahan hasrat untuk bertemu kalian awowkwkwkwk (nyeleneh banget)

100 komen lanjut ya shay
****

"Bukde Laksmi semakin hari semakin menjadi. Bukannya tobat inget umur, malah semakin suka ngomongin orang. Nyebar fitnah keluarga sendiri."

Mbak Ayu tampak menahan sebal. Sepulangnya dari membeli kopi tadi, Jea terlihat lesu, kalau saja Mbak Ayu tidak memaksa Jea untuk cerita, mana mau Jea memberitahunya begitu saja.

Jea juga sudah tidak ingin memperpanjang masalah. Dia sudah mumet dengan mikirin bagaimana dia harus cari kerja, karena gak mungkin dia bergantung dengan orangtuanya. Meski sekarang status pernikahan Jea belum jelas, Jea juga tidak bisa kembali menjadi tanggung jawab orangtuanya.

"Mulut bukdemu itu kaya ndak pernah di sekolahin. Tadi aja pas kamu beli kopi, dia sebenarnya membanggakan sekali suaminya Prita yang bule itu." Tapi sepertinya Mbak Ayu tidak bisa tenang begitu saja.

"Sudah, jangan dibahas lagi. Kalau kalian juga nyebarin fitnah dan omongan yang ndak-ndak tentang bukde kalian, lalu apa bedanya kalian dengan dia?" Sahut Bapak yang tidak ingin mendengar ada keributan lagi.

Mengingat saat ini kesehatan Ibu adalah prioritas utama mereka. Tahun ini memang banyak sekali ujian dari yang mahakuasa. Entah menantunya yang menghilang, dan Ibu yang kembali jatuh sakit.

Pada akhirnya mereka semua memilih untuk tidur cepat. Tidak ingin mengganggu istirahat ibu dengan obrolan tidak penting.

Subuh-subuh Jea sudah siap untuk jalan-jalan pagi. Kebiasaan dia karena udah pernah jadi pelayan di rumah keluarga suaminya. Agak miris ya, Jea jadi pelayan di rumah keluarga suaminya, hal itu semakin membuktikan bahwa Jea memang dari awal tidak pantas jadi menantu orang kaya.

Subuh begini pikiran Jea sudah mellow saja. Sembari jalan dan sesekali menyentuh perutnya yang terasa tendangan aktif di dalam sana. Jea masih penasaran sama jenis kelamin anaknya, apa jangan-jangan benar kata Ibu sama Nenek waktu itu, mungkin aja Jea lagi hamil anak cewek, soalnya bawaan Jea itu selalu mellow tiap mikirin apapun tentang Caska.

"Paling sebentar lagi Ayahmu itu tunangan sama cewek lain dek," gumam Jea yang mendadak kepikiran lagi sama Caska.

"Astaghfirullahaladzhim, kenapa malah kepikiran sama dia terus sih!" Tukasnya yang sebal dengan pikiran sendiri.

Matahari belum benar-benar tampak eksis, namun beberapa orang yang Jea lihat baru turun masjid juga sedang jalan-jalan. Jea sebenarnya tidak ingin bicara atau menyapa sekarang, namun seseorang yang dia kenal menyapa dengan riang. Rani, teman SMA Jea dulu.

"Jea!"

"Waduh, kamu ini lho! Dipanggil-panggil daritadi gak denger, makin budek apa gimana?" ucap wanita yang mengenakan mukena berbahan rayon berwarna ungu itu.

"Bayangin aja ran, jarak kamu sama aku aja jauh, gimana caranya aku denger kalau kamu manggil? Itupun kalau aku gak mendekat, kamu mungkin masih manggil-manggil kaya orang gila," balas Jea tidak terima dikatain budek.

Rani mengerucutkan bibirnya sebal kemudian mendekat untuk memeluk Jea. Gak nyangka aja bakalan ketemu di deket masjid begini, apalagi Rani baru aja balik jadi TKW di Malaysia sana.

"Kangen banget sama kamu, kangen juga sama yang lain. Aku baru balik dari Malaysia, dan emang berencana ke rumah kamu buat bawain oleh-oleh sekalian undangan."

Suprise! Marriage | ZHONG CHENLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang