10. DIKAMPUNG

144 13 5
                                    

Pelukan dan tangisan adikku, Miko membuatku menangis. Bukan karena kepergian Ayahku. Rasa rindu yang mendalam terhadap adikku, ku tumpahkan pada saat itu. Orang orang yang menyaksikan tangisku mungkin kesedihanku atas kepergian Ayahku. Tidak.

Aku merasa bukan saatnya menunjukkan kesedihan terhadap Ayahku. Mungkin nanti disaat kesendirianku dalam merenungkannya.

Bukan juga pelukan Ibuku yang menangis meraung raung atas kedatanganku.

Semua air mata yang ku tumpahkan dari pelupuk mataku, hanya untuk adekku tersayang, Miko. Miko yang kehilangan sosok seorang Ayah. Seperti katanya.

"Kita tidak punya Ayah lagi abaaaaaang. Pulanglah... temani Miko. Miko rindu abang... rinduuuu" Kata kata itu yang membuatku mempererat pelukanku ke adekku. Air mata yang sepertinya tidak ada keringnya.

Tamu tamu yang menyaksikan kami turut larut dalam kesedihan, tanpa tau tangis sebenarnya yang terpancar dari wajah sedihku.

Singgih mungkin tidak kuasa menahan sedihnya hingga dia menyingkir dari kami.

Doa dan maafku ke Ayahku tidak ada yang mendengar. Hanya SELAMAT JALAN, SEMOGA TENANG DI ALAM SANA yang terucap dari bibir ku sebelum jasad Ayahku diantar ke tempat pembaringan terakhir.

****

Aku dan Singgih belum bisa berbicara banyak setelah pemakaman Ayahku, karena tamu tamu masih berdatangan ke rumah.

Seperti adat kebanyakan suku di Indonesia, kami yang berbelasungkawa masih menjamu tamu tamu, walaupun sudah disiapkan oleh pemuda pemudi desa kami.

Malampun mulai menaungi bumi di desaku. Tamu tamu sudah berkurang. Yang tinggal hanyalah keluarga dekat Ayah dan Ibuku. Termasuk Udaku yang telah mengantar kepergianku ke tanah rantau.

Pertanyaan dari saudara Ayah dan Ibuku kujawab singkat singkat saja, untuk menghindari percakapan yang panjang.

"Robby, Ibu mau bicara, bisa tidak" Ibuku membuka pembicaraan malam itu.

"Bisa, bu" Jawabku.

"Mari nak, kita dikamar" Pinta Ibuku. Aku menurutinya.

Miko tidak mau ketinggalan. Dia selalu memegang baju atau tanganku.

"Nak! Ibu tidak tau memulai darimana. Karena apapun kata ibu nanti pasti kamu tidak akan dengar"

"Robby akan mendengarkan, bu. Bicaralah."

Miko duduk dipangkuan ku mempermainkan jemari tanganku.

"Maafkan Ibu anakku. Maafkan" Tangis Ibuku.

Aku terdiam.

"Ibu merasakan penderitaanmu, nak. Belum dewasa kamu sudah bisa mengatasi segala masalahmu. Ibu dan Ayahmu sepertinya tidak kau perlukan lagi. Tapi perlu kau ketahui, penyesalan Ayahmu dan ibu... " Tangis Ibuku kembali

"Sudah lama berlalu, Bu."

"Ibu hanya tidak bisa Terima, kau tidak bisa memaafkan kami, nak"

"Sakit yang Robby rasakan, seakan akan Robby ini bukan anak Ayah dan Ibu. Robby diusir, sepertinya kalian tidak punya hati. Tapi semua sudah lewat, Bu. Robby minta maaf, bu."

"Nanti kalau kau punya waktu, pulanglah. Ibu akan merindukanmu anakku. Tidak ada lagi teman ibu untuk bertukar pikiran. Hanya Miko dan Ibu"

"Ya, Bu. Robby akan pulang. Robby akan pulang." Tangisku sambil bersujud di hadapan Ibuku. "Maafkan Robby buuuuuuu... Maaf kaaaan"

Ibuku memelukku kuat kuat. Menciumi ubun ubunku. Darah yang mengalir di tubuhku serasa hangat kembali.

"Ini amanat Ayahmu sebelum dia pergi meninggalkan kita, sayang. Kau harus Terima uang ini yang sudah dikumpulkan Ayahmu. Dia tidak bisa tenang kalau kau menolaknya"

MY LIFE BAG. 2Where stories live. Discover now