36. Lanjutan

89 7 2
                                    

Makan malam si restoran mewah sudah berkali kali kurasakan bersama pak Gio. Walaupun aku belum pernah mencicipi masakan luar negeri yang namanya saja aku tidak pernah ku mengerti.

Aku selalu meminta masakan Indonesia. Tidak mau yang aneh aneh. Sakitnya aki sama Pak Gio, dia tidak pernah memaksakan keinginannya.
Dia membebaskan aku pertama kali untuk memilih.

Malam ini, aku ingin mengetahui apa sebenarnya maksud pak Gio ingin bersamaku. Keinginanku akan kusampaikan setelah selesai makan.

"Pak" Aku sedikit agak canggung untuk bertanya. Dia menatapku teduh.

"Ya, Robby. Ada yang ingin kau sampaikan?"

"Maaf ya sebelumnya." Kedua tanganku saling mengusap yang ku taruh di belahan pahaku. "Yang Robby tanya kemaren"

"Apa yang kau tanya kemaren, By"

"Bapak terlalu baik sama Robby. Apa tidak lelah mendatangaiku? Sebenarnya untuk apa Bapak lakukan ini. Robby merasa tidak pantas bapak melakukannya kepada seorang Mahasiswa magang semacam ku"kataku yang merasa lega menyampaikannya.

" Tidak ada maksud apa apa. Suka saja"

"Oh begitu ya, pak. Tapi kalau boleh Robby minta, untuk kedepannya Bapak tak usah lakukan ini. Kasian Robby liat lelahnya pak Gio. Tidak ada maksud tapi datangi Robby. Robby tidak bisa membalasnya nanti"

"Aku yang tau bagaimana lelahku, By. Aku yang tau dengan siapa aku mendapat kebahagiaan. Aku berteman sama siapa saja, aku bisa mengukur apa yang aku dapatkan"

"Robby tidak bermaksud menyinggung Pak Gio. Robby hanya merasa tidak pantas didatangi pengusaha semacam pak Gio. Teman sejawat, pengusaha atau yang sepadan dengan pak Gio."

"Kau merasa terganggu kau ku ajak jalan?"

"Bukan. Bukan seperti itu, pak. Apa kata teman teman pak Gio nanti bila tau jalan sama orang seperti Robby. Sudah terbukti, waktu kita jumpa di Bioskop, teman teman Pak Gio... "

"Kenapa? Cuek terhadap kamu?"

Aku diam.

"Justru karena itu, Robby. Orang kalem macam kau itu, pintar seperti kata pak Ridwan, tampan, ganteng, enak diajak bicara, apa adanya, jarang ku temukan dikalangan orang kaya. Bisnis dan bisnis. Uang dan uang. Perempuan dan banyak lagi, hanya itu yang dibicarakan."
Pak Gio membetulkan duduknya mendekat ke aku.

"Aku suka melihat kamu Robby yang apa adanya"lanjutnya.

"Karena Ribby bukan orang kaya dan pengusaha. Akan lain cerita bila aku di posisi itu, pak. Tapi aku berdoa  kepada Tuhan, seandainya semua itu ku miliki, aku hanya bisa bersyukur dan semua itu tidak akan merubah kehidupan Robby'

" Itu... Itu salah satu nilai plusmu. Kau lebih dewasa dari penampilanmu. Kau sadar tidak? Di hampir sebulanmu, Ayah ku sendiri dan orang orang banyak membicarakanmu. Tapi mereka takut untuk berbicara sama kamu"

"Takut? "

"Karena kamu tidak banyak bicara. Tampan, ganteng tapi tidak sombong. Mereka segan"pak Gio melihat jam mewah yang mengkilat terkena cahaya lampu. " Kita keluar ya, By. Kita cari angin"

"Besok kerja, pak. Robby tidak mau terlambat karena larut malam baru tidur"

"Akan ku antar kau sebelum jam tidurmu."

"Bapak juga perlu istirahat. Jaga kesehatan."

"Terima kasih kau sudah perduli. Ayo kita keluar. Sebentar mau bayar" Katanya dan melambaikan tangannya memanggil petugas resto.

Aku memandang wajahnya yang tampan dan bodynya yang indah. Seandainya?
Ahhh... Kenapa kau Robby? Apa kau ingin dia mengutarakan niatnya bahwa dia seorang Gay?

Ingat Robby, dia bukan Mulyono. Dia bukan Om Pierr. Dia bukan Exell. Dia bukan...

Aku melamun hanya waktu sekejab saat dia membayar makanan kami.

"Hellooo" Pak Gio mengibaskan tangannya di wajahmu sebelum menyentuh pundakku.

Aku terjaga dari lamunanku dengan gelagapku.

"Melamun. Apa yang kau pikirkan, By. Ayo kita keluar"

"Iya pak." Aku mengikuti pak Gio menuju parkir.

Diparkiran, kami bertemu dengan seorang pria dan wanita. Dari penampilan, mereka adalah dari golongan kasta tertinggi.

"Malam Pi, Mi" Pak Gio menyalami mereka. Aku hanya melongo karena dia menyebut Papi dan Mami. Apa yang harus ku lakukan? Ya Tuhaaaaaan. Benar dugaanku, ini akan menjadi petaka bagiku.

"Ini... " Tanyanya dengan senyum membuatku sedikit lega.

"Robby Om, Tante" Kataku ikut menyalami.

"Teman Gio Pi. Magang di Perusahaan kita"

"Oh ini yang dibicarakan Ridwan." Katanya melihatku. Lalu melihat anaknya. "Bawa ke rumah, Gio. Kalian ngobrol dirumah saja" Katanya. "Kalian lanjut ya. Papi sama Mami mau makan malam. Sampai jumpa di rumah"

"Baik Pi. Sampai nanti" Ucap Pak Gio dan mengajakku masuk ke mobilnya.

****

Papi dan Mami pak Gio sepertinya tidak perduli dengan siapa teman anaknya. Dengan menyuruh anaknya membawaku ke rumahnya, membuatku makin ciut.

Besok siang atau lusa mungkin menjadi berita besar di kantor bila aku berteman dengan anaknya pengusaha di kota kami.

Keringat dingin menetes di pipiku. Pak Gio melirik ku sekan mengerti keadaanku saat ini.

"Kenapa diam Robby.? " Pertanyaannya semakin membuatku gelisah. "Udara malam segar begini malah berkeringat" Lanjutnya dan merogoh kantongnya mengambil sapu tangan dan memberikannya kepadaku.

Buru buru kusuka keringat ku dengan punggung tanganku.

"Kau kenapa Robby" Pertanyaannya diulang lagi.

"Robby hanya ingin menyelesaikan tugas kampus. Magang. Tidak lebih dari itu, pak"

"Loh.. Loh.. Apa hubungannya dengan keringat. Ok... Ok Robby. Biar kamu tenang, kita keluar dari mobil, kita bercakap" Katanya. Dan aku berdiam diri walau gelisah. "Ok, kita ngobrol di situ" Bibirnya menunjuk sebuah jembatan penyeberangan sungai kecil.

Sentuhan pertama tangannya di belakang kepalaku membuat jantungku semakin berdebar. Aku bertanya dalam hati. Pak Gio gay bukan ya? Kalau dia gay kenapa harus berlama lama untuk menyentuhku?

"Ayo kita turun. Kita bicara disana" Katanya dan turun lebih dulu dari mobil.

Seorang pedagang menawarkan dagangannya yaitu kacang rebus, kedelai rebus dan jagung rebus.
Pak Gio membeli kacang kedelai rebus.

"Ini bahan buat ngobrol" Menyodorkan kacan ke tanganku. "Duduk disini By"

Ku tempelkan pantatku di tangga jembatan kecil agak ke pinggir biar yang lewat bisa berlalu.

"Kenapa Robby tampan, kau seperti tersengat listrik melihat Papi dan Mami ku"

"Robby takut pak. Takut Pak Gio kena marah karena melihat keluar dari restoran itu. Robby tidak ingin membawa masalah"

"Masalah apa Robby? Tidak akan terjadi sesuatu. Tenang saja. Oh ya, kau pernah ingin cerita, sekaranglah saatnya aku ingin mendengarnya"

"Sudah jam berapa, pak"

"Jam tanganku rusak."

"Hehehehe.. Mewah tapi rusak." Kataku. "Takut kemalaman pak." Lanjut ku.

"Tak usah alasan. Ayo ceritalah. Aku akan jadi pendengar yang baik"

"Pak...! Sebaiknya lain waktu saja. Robby belum siap menceritakan kisah hidup Robby" Kataku akhirnya. Terus terang saja, aku masih belum percaya 100℅ Pak Gio, bila kuceritakan siapa aku sebenarnya.

"Memangnya jalan cerita hidupmu panjang, By"

"Bisa berjilid jilid bila di bukukan, pak. Nanti kalau ada waktunnya lebih panjang"

>>>>bersambung




MY LIFE BAG. 2Where stories live. Discover now