34. Bersama Pak Gio

122 6 4
                                    

Malam masih menyisakan pendar cahaya matahari di bumi yang ku injak ketika menunggu angkot. Sisa uang pemberian oak Ridwan tidak cukup untuk menaiki taxi untuk kembali ke rumahku.

Aku tidak tau angkot mana yang akan kunaiki, karena tempat itu asing bagiku.

Suara klakson mobil di dekatku yang kulihat meminggir membuat mataku terarah ke sosok mobilnya. Karena malam, aku tidak mengenal mobilnya.

"Robby, ayo naik" Pak Gio mengeluarkan kepalanya dari pintu mobil.

"Maaf pak. Robby naik angkot saja" Jawabku dan berjalan agak menjauh dari mobilnya.

Pak Gio memundurkan mobilnya untuk mendekatiku lalu keluar dari mobilnya.

"Robby kita bicara di dalam mobil"

"Robby tidak pantas duduk di dalam mobil. Angkot yang cocok buat Robby"

"Robby, kita baru kenal. Aku tau bagaimana perasaanmu saat ini. Aku ingin bicara soal ini. Ayo naiklah"
Dengan enggan aku mengikuti pak Gio ke dalam mobilnya.

Pak Gio memandangi wajahku sebelum mobilnya dijalankan.

"Kemaren, sebelum jam kerja selesai, aku memanggil pak Ridwan sekedar membicarakan hasil survey kalian ke pabrik. Setelah selesai, pak Ridwan basa basi mengundangku ke pesta ulang tahun putrinya. Pak Ridwan bercerita, dia sangat suka dengan kamu. Satu, kegantengan dan ketampananmu, dan kepintaranmu membuat dia ingin memperkenalkan kamu ke putrinya." Pak Gio berhenti bercerita lalu melihat wajahku menunggu reaksiku.

"Walapun sekedar kenal, kan tidak apa apa. Namanya orang tua, akan selalu memberikan yang terbaik buat keluarganya. Pak Ridwan itu orang baik. Tidak memandang status dalam pergaulan. Makanya Ayahku tidak pernah menggantikan dia dari jabatannya."

"Maaf Pak Gio! Sekali lagi maaf. Berarti pak Gio pemilik perusahaan yang Robby... "

"Kemaren bukannya sudah aku ceritakan"

Aku terdiam.

"Pak Ridwan tidak berfikir bahwa akan ada kejadian spontan seperti tadi. Mereka tidak mengolok olok kamu dengan pakaian seperti yang kau pakai. Kamu tidak boleh rendah diri. Dengan ucapan mu tadi saat memberi selamat sama putrinya,  orang bisa menilai bahwa kamu adalah orang terhormat"

"Manusia mana bisa menilai hanya sekedar ucapan pak. Mereka ingin melihat dari pemberian. Mereka bisa menilai status seseorang dari sana."

"Betul. Tapi itu kan orang lain. Keluarganya pak Ridwan. Bukan pak Ridwan sendiri"

"Terlepas dari itu, malam ini sepertinya harga diri Robby terjual murah dihadapa keluarganya pak Ridwan dan teman teman putrinya. Setidaknya pak Ridwan memberitahu Robby. Datang tidaknya Robby karena keadaan bisa dimaklumi. Ini...? Benar benar Robby bulan bulanan mulai menginjakkan kaki di teras rumah mewah itu. Dari kepala sampai kaki, Robby dinilai"

Penilaianku terhadap pak Ridwan yang bisex ternyata salah. Dia baik terhadap aku karena ada maksud dan tujuan. Bagus. Aku akan terlepas dari satu orang yang baik tapi niat jahat.

Andai pun putrinya suka dengan aku seperti bapaknya, apa iya aku akan bisa. Cantik memang, tapi sumpah mampus, tak ada sama sekali hatiku untuk mendekatinya.

"Aku hanya ingin kau berfiiran positif Robby. Tidak ada niatan pak Ridwan untuk mempermalukan kau"

"Robby tidak mikirin pak. Robby hanya ingin pulang ke rumah"

"Ini kan malam minggu. Kenapa buru buru. Seandainya tadi tidak terjadi masalah, kau kan akan tinggal lebih lama disana. Gimana kalau kita nonton"

"Nonton? Tidaklah pak"

"Ayolah. Sekali sekali keluar dari zona nyaman. Kau bersamaku sekarang. Apa kau lihat aku ini seperti orang jahat? "

"Jauh dari kesan itu"

"Kalau begitu kita makan dulu, baru nonton. Aku tau tempat makan enak"

"Maaf pak, kalau yang kek kemarin, janganlah"

"Ok. Tenang aja Robby"

****

Bioskop yang sudah lewat jam tanyang pukul 20.00, terpaksa kami menunggu lebih kurang 1 jam.

"Gimana pak? Apa Robby pulang saja, ini akan lama" Kataku ketika melihat "sedang diputar"

"Melewati waktu, kita jalan saja ke mall dibawah"

"Capek pak kalau jalan jalan"

"Sebentar. Ayo"

"Bapak sepertinya senang sekali ngajak Robby. Boleh tau kenapa? "

Pak Gio terdiam dan duduk di sofa penunggu

"Salah Robby bertanya" Kataku melihat wajahnya. "Robby tidak ingin menyusahkan orang pak. Soalnya dari pertama kali jumpa, pak Boss sepertinya ingin menyenangkan hati Robby"

"Salah bila orang memberi kesenangan pada orang lain? "

"Tidak ada yang salah, pak. Hanya kenapa harus Robby"

"Ok lah aku antar kamu ke jalan dimana kau bisa menunggu angkot ke rumahmu"

"Kenapa marah pak. Robby hanya ingin tau."

Pak Gio tersenyum.

"Aku tidak marah Robby. Sejauh ini, aku enjoy saja jalan sama kamu. Itu saja. Tapi kalau kamu tidak mau menonton atau jalan jalan, kita pulang. Mungkin nanti  suatu saat kita bisa jalan jalan"

"Maaf ya pak. Terima kasih malam ini sudah memberikan pelajaran berharga bagi Robby tentang menilai kebaikan seseorang. Lusa, di kantor Robby akan minta maaf sama pak Ridwan. "

"Tetaplah menjadi dirimu sendiri, Robby. Jangan pernah kau ubah apa yang ada di dalam diri kamu. Orang pasti semakin banyak yang suka dengan pembawaan kalem kamu"

"Robby hidup apa adanya pak. Tidak neko neko. Sudah terbiasa"

"Aku tidak ingin mendengar ceritamu sekarang. Mungkin nanti kalau kita jumpa lagi"

"Baik pak. Sekali lagi Terima kasih. Robby pamit"

Aku menjulurkan tanganku untuk menyalami tangan pak Gio. Tiba tiba ada orang yang memanggil namanya hingga ku urungkan niatku untuk menyalami.

"Eeeeeiiii... Boss PT ada di sini rupanya. Mau nonton, koh" Cerocosnya. Pria betiacamata keturunan, sama seperti pak Gio.

"Tadinya. Tapi sudah lewat jam nya. Mungkin nanti. Sama siapa ini? " Pak Gio memperhatikan sekitar bioskop.

"Sama teman. Biasa. Ini... "

"Ini Robby. Kenalkan Robby, Pak boss Qi Lan"

Aku meyodorkan tanganku sambil menyebut namaku.
Daripada berlama lama, segera aku pamit dari hadapan mereka.

"Baik pak, koh, Robby pamit dulu" Kataku yang tidak dijawab karena teman koh Qi Lan datang dan memanggil  nama pak Gio. Mereka bercengkerama. Pak Gio mungkin marah karena aku tidak mau ikut dengannya. Pelan pelan aku mundur dan pergi dari sana.

Di depan mall itu banyak mobil angkot yang berjejer menunggu penumpang, aku segera melihat angkot menuju rumahku. Ternyata tidak ada.

"Harus 2 kali bang. Naik no 20 turun di Antara naik lagi dari sana" Terang supir yang kutanya.

"Baik bang, Terima kasih"

Aku bergegas menuju angkot yang dimaksud dan naik walaupun baru se orang penumpang di dalamnya. Yang penting hatiku sudah tenang.

Aku hanya memperhatikan lalu lalang manusia disana, seperti terminal ku lihat. Pedagang yang tidak beraturan, angkot berhenti sesukanya, padahal jelas jelas tertulis Dilarang berdagang dan rambu dilarang Stop.

'Inilah gambaran wajah kota' aku bergumam.

Suara teriakan supir yang memanggil manggil penpangnya saling bersahutan antara satu sama lain.

*****

MY LIFE BAG. 2Where stories live. Discover now