33. Rumah Pak Ridwan

108 5 0
                                    

Pukul 17.20 aku baru berangkat dari rumahku menuju jalan besar untuk mencegat taxi seperti yang disarankan oleh Pak Ridwan.

Taxi yang kunantikan lumayan agak lama menunggunya. Tengok kanan selalu mengawasi barangkali ada taxi lewat.

"Huhhh... Penuh terus" Gerutuku setiap taxi yang ku stop ternyata lampu atasnya sudah mati pertanda ada penumpangnya.

Tepat pukul 17.45 baru aku menemukan taxi kosong.

"Bang ke alamat ini ya" Kataku menyodorkan kartu nama pemberian Pak Ridwan.

"Baik bang" Jawab supir taxinya.

Aku tidak bisa tenang duduk di dalam taxi. Khawatir supir taxinya membawaku berputar putar hingga argo taxi membengkak. Maklumlah belum pernah naik taxi. Karena sering kudengar ada supir taxi yang nakal demi uang.

Dari kecemasan ke supir taxi hingga wajah Pak Gio, Mas Mulyono, Om Pierr, Singgih dan Pak Ridwan berseliweran di otakku. Aku membandingkan kelakuan antara mereka. Termasuk Pak Novri yang terang terangan menyukai ku.

Mas Mulyono, sejak selesainya proyek yang dikerjakan sudah tidak pernah lagi datang seperti janjinya. Om Pierr? Sudah ke laut sejak terakhir kali pasang badan membelaku saat aku di diskualifikasi dari acara yang ku ikuti.

Semua janji manis. Mereka menjauh karena mungkin aku meminta bayaran. Mungkin.

Kali ini, Pak Ridwan. Apa yang hendak dilakukan dengan mengundangku. Kebaikannya yang sering memberi uang dan pakaian, apakah sama dengan Pak Novri yang menginginkan diriku?

"Bang sudah sampai. Coba dilihat lagi kartu namanya, apakah sesuai alamatnya" Supir taxi mengingatkan ku.

Saat aku melihat ke halaman rumah, dan melayangkan pandanganku ke gerbang rumah, hatiku ciut seketika.

Rumah mewah itu, banyak orang yang datang dengan pakaian ala ala pesta.

"Bentar dulu bang" Kataku ke supir taxi.

"Salah ya bang? " Dia bertanya dengan menatap wajahku.

"Ramai soalnya" Ucapku. Lalu aku melihat mobil mobil di parkiran. Mobilnya pak Gio ada disana.

"Benar bang. Makasih ya" Kataku dan menyodorkan ongkos ku.

Kulirik jam butut di pergelangan tanganku. Pukul 18.10. 'Lama juga ternyata.' Gumamku.

Melangkah menuju gerbang tinggi rumah itu, tatapan heran menyambutku.

"Mau tanya, pak. Apa benar ini kediaman Pak Ridwan? " Tanyaku sembari menyodorkan kartu namanya.

Dia menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Anda siapa?" Dia balik bertanya.

"Maaf kalau berpakaian begini, Pak Ridwan tidak bilang kalau ada pesta" Kataku.

"Ya benar ini Rumah Pak Ridwan. Sebentar biar tak panggilkan. Duduk bang" Katanya mempersilahkan aku duduk di bangku di teras rumah mewah itu.

"Orang kaya memang beda. Tidak sembarangan menerima orang yang tidak di kenal" Gumamku dalam hati.

"Ehhh Robby, udah datang. Masuk nak... Masuk" Pak Ridwan menyambutku.

"Maaf pak. Bapak tidak bilang kalau ada acara, jadi Robby berpakaian begini" Kataku.

"Tidak apa apa. Kau datang juga sudah senang nak"

'Nak'? Beda sama di kantor ya? Panggilan itu membuatku nyaman seketika.

Masuk ke dalam rumah, kulihat Tulisan di dinding "SELAMAT ULANG TAHUN KE 18 ANAKKU VICENTYA"

"Ulang tahu  rupanya" Dalam hatiku. Aku membungkuk melewati manusia manusia yang berpakaian bagus di ruang utama rumah itu.

"Silahkan duduk nak Robby" Kata pak Ridwan. Mataku langsung tertuju ke mahluk tampan di hadapanku, pak Gio.

"Pak Gio" Sebut ku.

"Duduk By" Ujarnya.

"Robby tidak tau kalau ada acara ulang tahun. Tidak diberi tau oleh pak Ridwan. Jadi... "

"Tidak apa apa" Bisik pak Gio.

"Tidak pantas Robby disini, pak. Malu rasanya di perhatikan karena pakain Robby pakai T-Shirt"

"Kau tidak usah merendah. Aku suka liat kamu begini. Tampan kau Robby"

Aku diam ketika dibilang seperti itu.

"Saudar saudara, acara akan segera dimulai, mari ke ruang tengah" Seorang ibu yang cantik dengan balutan gaunnya yang mewah menyapa kami.

"Ayo Robby" Kata Pak Gio menarik tanganku. Tapi kutahan.

"Robby di belakang saja. Biar tamunya lebih dulu" Kataku.

Pak Gio bersama tamu tamunya masuk lebih dulu ke ruang tengah yang luas
Aku mengikuti dari belakang.

"Robby kenapa dibelakang? Sini nak di depan" Panggil pak Ridwan. Semua mata tertuju padaku. Rasanya malu tak tertahankan.

"Disini aja pak. Samanya itu" Kataku.

Pak Ridwan menghampiriku dan menarik tanganku ke depan. Bisik bisik keluarga yang kudengar semakin membuatku grogi hingga keringat menetes di pelipis ku.

"Kenalkan, ini Robby si mahasiswa magang di kantor kami, tampan, bagnteng dan pintar" Ucap Pak Ridwan.

"Oh calon mantu ya"Celoteh seorang wanita dari tengah kerumunan.
Aku tertunduk mendengar ketawa mereka. Tak sedikitpun aku berani melihat putri pak Ridwan yang cantik dibalut pakaian gaun putihnya.

Teman temannya tertawa, yang tidak bisa ku maknai, apa meledek atau mengaminkan kata kata Pak Ridwan. Aku seperti bulan bulanan di hadapan keluarga besar itu.

****

Saat pemberian kado, disinilah aku menjadi seperti seorang tahanan yang tidak punya harga diri sama sekali. Betapa tidak, teriakan teriakan 'Kado Spesial' dari keluarga mereka dan teman teman Vicentya membuatku malu.

Ketika aku mendekati Vicentya, semua terdiam melihat ke arahku.

"Selamat Ulang Tahun, dek. Tidak ada Kado yang lebih berharga dari doa yang tulus, hanya Doa yang bisa aku panjatkan, agar kau bisa menikmati hidup dalam jalur yang benar dan menghargai orang tua yang membuatmu semakin dewasa dalam berfikir. Semoga  sehat selalu dalam lindungan Tuhan" Ucapanku seperti mengalir entah darimana datangnya. Ciuman ku ke tangan Vicentya membuat tepuk tangan dari keluarga yang hadir.

Aku tidak perduli lagi akan apa yang akan terjadi, aku langsung keluar dari dalam rumah.
Sepertinya aku dipermalukan oleh Pak Ridwan.

Aku tau, sebagai seorang Mahasiswa yang tinggal sendiri, karena pernah kuceritakan ke Pak Ridwan, mungkin dia berfikir uang darimana aku untuk membeli sebuah kado untuk anaknya.

Bukan begini caranya mengundangku untuk mendapat malu. Seandainya diberi tahu sebelumnya, dengan tabunganku dari mengamen, aku bisa membelikan kado kecil buat anaknya.

"Robby... Robby.. mau kemana? " Suara pak Ridwan dari belakangku yang disusul oleh pak Gio.

"Robby tau pak, Robby orang miskin. Bukan begini caranya bapak mempermalukan Robby di hadapan keluarga besar Bapak. Kalau Robby tau kejadiannya seperti ini, Robby akan bisa membelikan kado yang tidak punya harga buat putri bapak"

"Kenapa harus malu Robby. Kedatanganmu saja sudah membuat bahagia keluarga"

"Bapak yanng bahagia, tapi Robby yang menanggung malu. Terima kasih pak Ridwan telah memperkenalkan saya ke keluarga Bapak. Tapi Robby mohon maaf, Robby akan pulang"

"Robby, maaf atas sikap spontan keluarga dan teman temanya Vicentya. Tapi jujur, mereka menganggap kamu sebagai kekasih Vicentya. Makanya mereka berbicara begitu" Pak Gio yang menengahi.

"Maaf Pak Gio! Seharusnya pak Ridwan memberitahu sebelumnya. Robby tidak kenal sama siapa pun di keluarga ini kecuali pak Ridwan. Tidak ada alasan, menganggap Robby sebagai kekasih putri pak Ridwan. Maaf Robby pulang" Kataku dan melangkah menjauhi mereka.

Kedatanganku saja sudah ada yang menilai bahwa aku tidak pantas di keluarga kaya itu. Apa iya aku harus bertahan.

*****

MY LIFE BAG. 2Where stories live. Discover now