Prolog

189 53 31
                                    

Aruna, 2017

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aruna, 2017

"Maafin aku, Rey. Aku bener-bener udah nggak bisa." Aku berusaha memalingkan mukaku dari Reyvan agar sebisa mungkin tidak menatap matanya.

Aku tahu, dia masih mencoba setenang mungkin untuk berbicara kepadaku. Dia terdiam sejenak setelah mendengarkan kalimat yang keluar dari mulutku. Dan aku masih berusaha menarik napas panjang mengatur emosiku.

"Apa alasannya, Run? Hanya karena hal itu?" Reyvan masih memastikan alasan dibalik keputusanku itu.

Aku tersenyum hambar dan kembali menatapnya. Aku melihat wajahnya yang kian dipenuhi raut sedih dan kecewa yang masih berusaha ia sembunyikan.

"Iya. Dan itu bukan hanya, Rey," jelasku kepadanya dengan menekankan setiap kata yang aku ucapkan, berharap dia bisa mengerti.

"Run, aku bisa memaklumi hal itu, aku juga berusaha untuk bisa nerima semuanya dan kamu nggak harus pergi kaya gini."

"Aku tahu, Rey. Kamu emang orang baik yang bahkan bisa nerima aku yang belum bisa ngerelain masa lalu aku. Dan aku tahu itu nggak mudah."

"Karena itu aku nggak mau, aku nggak mau nyakitin kamu," ucapku kian melemah dan aku kembali menundukkan kepala lalu beranjak dari bangku yang semula kududuki bersama Reyvan.

"Justru dengan kamu kaya gini kamu nyakitin aku, Run."

"Rey, aku akan lebih nyakitin kamu kalau aku masih sama kamu. Mungkin kamu sekarang belum merasa, tapi aku takut suatu saat nanti kamu bakalan ngerasa sakit karena kamu menjalin hubungan dengan orang yang masih belum selesai sama masa lalunya, yang bahkan hatinya bukan untuk kamu," ucapku dengan emosi yang semakin tidak terkontrol.

Aku sadar ucapanku kali ini benar-benar seperti jarum yang siap menusuk hati siapapun yang mendengarnya. Tapi aku merasa memang seharusnya aku mengatakan hal itu, agar Reyvan mengerti dan bisa menerima keputusanku.

"Aku harap kamu paham dan aku harap kamu bisa nerima keputusan aku, Rey. Kita tetap bisa berteman." Aku melanjutkan ucapanku.

Aku melihatnya berusaha menarik napas panjang dan berat. Matanya perlahan menatap ke arahku. Sungguh, aku melihat rasa kecewa yang begitu dalam tapi aku sama sekali tidak melihat amarah padanya.

"Baik, aku menghargai keputusan kamu, Run. Satu hal yang harus kamu tahu, aku masih sayang sama kamu," ujarnya dengan suara yang berusaha tenang namun lirih.

"Makasih, makasih dan maaf, Rey. Aku pergi dulu." Aku berjalan meninggalkan Reyvan, sementara dia masih setia di tempatnya.

Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang tidak bisa aku jelaskan. Merasa bersalah, sedih, lega, dan kecewa seakan menjadi satu. Tapi ini yang memang aku inginkan dan setidaknya aku sudah melakukannya.

⏳⏳⏳

Dehan, 2017

"Dehan, udah siap? Temen temen kamu udah nungguin di bawah."

"Udah, Bun. Yuk ke bawah," jawab gue sembari berusaha mencangklong tas ransel yang gue bawa. Sedangkan bunda sudah berjalan beberapa langkah lebih dulu di depan gue menuruni anak tangga.

Pagi ini, rencananya gue akan pergi ke Lumajang bersama Widi dan Arya, teman baik gue yang saat ini sudah sampai dan dengan setia menunggu gue di rumah.

"Yasudah, Dehan berangkat dulu, Bun." Gue pamit kepada bunda seraya mencium tangannya dan diikuti oleh Widi dan Arya.

"Kami berangkat dulu, tan. Assalamualaikum," pamit Arya.

"Waalaikumsalam."

Gue, Widi, dan Arya bergegas keluar dan menaiki jeep milik Widi untuk kami gunakan menuju Lumajang. Rencananya kami akan melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Sebenarnya jarak dari Bandung ke Lumajang sangat jauh dan menghabiskan waktu sekitar sebelas sampai dua belas jam jika ditempuh menggunakan mobil. Tapi gue dan teman-teman memang sengaja, biar lebih terasa saja perjalanan dan tantangannya.

Setelah perjalanan sekitar 4 jam, kami memutskan berhenti dan istirahat sejenak di rest area karena perjalanan yang masih jauh dan lama.

"Btw, malem nanti kita udah nyampe belum ya, kira-kira?" Widi bertanya membuka pembicaraan setelah ia meneguk kopi dari kemasan kaleng yang dibelinya di minimarket.

"Udah deh kayanya. Tapi bisa jadi sampe sana besok pagi, karena kita ga mungkin juga kan perjalanan terus nggak istirahat sama sekali, yang ada encok sampe sana," jawab Arya sambil terkekeh melirik Widi.

"Iya juga ya."

Gue masih diam menikmati udara sekitar yang cukup panas dan menyimak pembicaraan mereka dengan sebotol minuman dingin yang baru saja gue habiskan.

"De, akhir-akhir ini gue perhatiin lo jadi suka banget deh main keluar, ke alam, mana jauh-jauh pula. Tumben? Biasanya mana mau, paling juga diem di rumah main musik kalo nggak gitu paling jauh main di sekitaran Bandung." Jiwa interogatif Arya mulai keluar, yang membuat gue malas menjawab karena harus berpikir, gue heran masih sempat-sempatnya dia bertanya seperti itu di tengah perjalanan yang panas dan melelahkan ini.

"Sekali-kali healing biar nggak sinting," jawab gue dengan tawa kecil sesantai mungkin.

Walaupun sebenarnya bukan itu alasan utama gue main keluar. Karena healing gue bisa terbilang sangat sederhana, dengan bermain musik sepanjang waktu atau tidur sepanjang hari dan tidak melakukan aktivitas apapun. Ya, sesederhana itu dapat membuat gue lebih baik dari lelahnya dunia.

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang