Bagian 16

122 44 75
                                        

Sudah jam 10 malam, dan aku masih di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah jam 10 malam, dan aku masih di sini. Di rooftop kantor, dengan Rafka tentunya. Dia sedari tadi mengajakku pulang karena memang sudah malam dan di sini dingin. Tetapi aku yang masih keras kepala mengatakan aku belum ingin pulang. Jadilah saat ini tubuhku berbalut jas miliknya yang ukurannya terlalu besar saat aku kenakan.

Aku hanya ingin menenangkan pikiranku yang berisik setelah Rafka mengatakan kepadaku, "Run, lusa aku ke Singapore,"

"Ngapain?"

"Kerja. Aku pindah kerja di sana." Dia menjeda perkataannya sebelum akhirnya melanjutkan.

"Seriously?" tanyaku tak kalah terkejut saat mendengar itu.

"Kata Bu Reta, ada posisi kosong yang harus segera diisi di kantor yang ada di Singapore. Dan aku ditugaskan untuk itu."

"Aku udah ngusulin buat rekrutmen pegawai baru saat itu, tapi katanya tidak bisa, karena terlalu urgent. Dan harus aku." Dia melanjutkan ucapannya. Aku masih terdiam.

"Lusa, ya?" tanyaku memastikan dengan perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan.
Dia mengangguk pelan.

Itulah alasanku saat ini berdiam di sini, aku juga tidak tahu kenapa. Ingin saja. Riuh sekali pikiranku. Aku yakin Rafka tahu itu, mungkin dia pun begitu.

Tiga kata yang sedari tadi mengusik pikiranku. Jauh dari Rafka. Aku tidak tahu apakah aku bisa. Aku dan Rafka akan berada di negeri yang berbeda, yang tidak tahu itu sampai kapan.

"Rafka."

"Hmm?"

"Aku boleh di sini lebih lama sebentar kan?"

"Hmm, iya. Bilang aku kalau kamu masih kedinginan. Biar aku peluk kamu." Aku hanya mengangguk. Tatapanku sendu.

Dan sebentar lagi mungkin aku tidak akan merasakan pelukan itu lagi, mungkin masih, sesekali ketika dia pulang.

Aku terdiam cukup lama menatap langit malam, dan Rafka membiarkan aku larut dalam pikiranku. Sampai akhirnya dia memecahkan keheningan itu.

"Janji sama aku ini yang terakhir kamu kayak gini, ya? Kalau nggak ada aku, kamu jangan ke sini sendirian apalagi sampe malem kayak gini. Aku nggak mau kamu sakit."

Entah kenapa dadaku terasa semakin sesak ketika aku mendengar dia mengatakan itu. Aku masih belum bersuara, tapi tiba-tiba pipiku basah. Ya, aku menangis, air mataku keluar begitu saja.

Terserah jika mau dikatakan lebay atau apapun itu. Tapi dari dulu aku memang benci perpisahan, tidak peduli lama atau sebentar. Bagiku perpisahan akan selalu menyakitkan.

Dia yang menyadari aku tengah menangis saat ini, membawaku ke dalam pelukannya. Aku membalas erat pelukan itu. Kehangatan yang selalu aku suka. Dekat. Aku bahkan bisa merasakan degup jantungnya.

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang