[Follow sebelum membaca]
Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda.
Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mei 2021
Anin
Aku masih berusaha menahan emosiku saat harus berdebat dengan suamiku saat ini. Aku tidak mau terbawa emosi dan amarah karena aku tidak mau dia justru tidak mengerti apa yang aku katakan.
"Harusnya kamu juga mikirin dia. Dia itu peduli sama kamu, makanya dia nggak mau kamu ngelakuin hal yang salah kayak gitu terus, Mas. Kamu paham kan?"
"Nin, tapi dia udah keterlaluan."
"Dan aku rasa, dia nggak punya hak untuk ngelarang aku atau nyuruh aku buat berhenti. Ngerti apa dia?" ucapnya yang kian menggebu penuh emosi.
Kali ini aku benar-benar sudah tidak bisa menahan emosiku yang sedari tadi berusaha untuk tidak aku luapkan. Tapi sepertinya dia masih tidak mengerti juga apa yang aku katakan.
"KAMU BENER-BENER EGOIS! AKU NGGAK NYANGKA KAMU BISA KAYAK GINI," ucapku yang sudah dikuasai oleh amarah, tetapi masih bisa ku katakan dengan tenang. Aku masih sadar dan aku masih bisa mengendalikan emosiku. Aku hanya ingin menyadarkannya.
"KAMU PIKIR AKU MELAKUKAN SEMUA INI BUAT SIAPA? BUAT KALIAN!" ucapnya yang juga tak kalah emosi.
"DAN KAMU PIKIR AKU SAMA DEHAN BUTUH SEMUA ITU DENGAN CARA KAYAK GITU? ENGGAK!"
"Kalau sekarang udah kayak gini, apa yang kamu dapet? Anak kamu udah nggak percaya sama kamu, dan sekarang dia pergi gara-gara kamu. PUAS KAMU?!" ucapku yang masih terbawa emosi, kali ini air mataku benar-benar mengalir deras.
Dia terdiam. Aku melanjutkan perkataanku. Aku mengeluarkan semua yang selama ini masih aku tahan untuk tidak aku ucapkan.
"Dan aku minta, lebih baik kamu mundur kalau kamu nggak bisa jadi pemimpin yang baik."
"NGGAK SEMUDAH ITU," katanya yang masih tersulut emosi.
"APA SUSAHNYA SIH, MAS? HAH? SADAR! JANGAN SAMPE KARENA KEKUASAAN, KAMU JADI EGOIS DAN JAHAT KAYAK GINI!"
"DAN JANGAN SAMPE KARENA GILA SAMA KEKUASAAN, KAMU KEHILANGAN ANAK KAMU SATU-SATUNYA!" Aku menekankan setiap perkataanku, air mataku masih mengalir ketika aku mengatakannya.
Dia Kembali terdiam, kali ini sepertinya dia memikirkan apa yang baru saja aku katakan. Aku harap dia akan luluh.
"TERUS SEKARANG GIMANA? APA YANG KAMU MAU? APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?" Ya, kalimat itulah yang aku nantikan. Aku akan kembali menjelaskannya berharap dia mengerti kali ini.
"Mau aku sama seperti Dehan. Kamu berhenti dan mundur dari jabatan kamu."
"Tapi-"
"Kalau kamu nggak mau, jangan nyesel kalau nanti kamu bakal kehilangan aku sama Dehan." Aku mengatakan itu dengan tegas dan penuh penekanan.