Bagian 9

110 49 71
                                    

-Ketika takdir menjauhkan, semesta pun turut berperan-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Ketika takdir menjauhkan, semesta pun turut berperan-

Maret 2021

Aruna

Hari ini tepat satu bulan aku bekerja sebagai HRD di salah satu kantor di Bandung. Cukup melelahkan ternyata, tetapi aku menikmatinya, karena sedikit banyak aku sudah terbiasa saat aku masih magang. Mungkin jika lelah secara fisik tidak terlalu, tapi cukup menguras pikiranku dan terkadang juga mempengaruhi mood ku, tapi aku berusaha untuk selalu bekerja secara profesional.

“Run, perlu aku bantu?” Itu Rafka, salah satu rekan kerjaku di divisi Sumber Daya Manusia. Aku mengenalnya sejak kami magang saat itu.

“Oh enggak, udah mau selesai kok, Raf. Makasih, ya,” kataku yang masih sibuk menata berkas-berkas untuk meeting besok.

“Oh oke. Habis ini mau langsung pulang?” tanyanya lagi.

“Iya, aku mau langsung pulang aja kayanya.”

“Mau bareng nggak? Aku anterin pulang.”

Dia menawarkan pulang bareng, dia tahu sejak kemarin mobilku sedang di bengkel karena ada yang harus diperbaiki, aku yang bercerita saat itu karena aku terlambat datang ke kantor.

“Ngerepotin kamu entar, nggak papa aku naik taksi aja, Raf.”

“Nggak ngerepotin kali, lagian jam segini taksi susah, Run.”

Aku terdiam sejenak, berpikir, tapi memang benar biasanya jam-jam segini memang susah mencari taksi.

“Yaudah boleh deh. Beneran nggak ngerepotin kan?” tanyaku lagi untuk memastikan.

“Enggak astaga. Yuk!”

Jadilah kali ini aku pulang bersama Rafka. Kalau boleh aku bercerita sedikit tentang Rafka, dia baik meskipun terkadang usilnya minta ampun. Sebenarnya aku pada awalnya tidak begitu akrab dengannya, apalagi saat masih magang, mungkin aku hanya tahu dia sebatas nama. Tapi karena Rafka adalah orang yang humble dan berusaha untuk mengenal semua orang di kantor termasuk aku, sehingga lama-lama aku juga bisa akrab.

“Raf, aku pulang sama kamu aman kan?” tanyaku tiba-tiba di tengah perjalanan pulang.

“Hah? Maksud kamu ada yang marah gitu?” aku mengangguk ragu.

“Enggak, orang aku aja belum ada pacar,” jawabnya yang diikuti dengan tawanya yang setiap hari ku dengar.

“Oke.”

Jujur saja aku takut dan sedikit trauma jika aku jalan keluar atau semobil berdua dengan lelaki, takut seperti kejadian setelah aku pergi berdua dengan Evan waktu itu.

Beberapa hari setelah aku pergi keluar Bersama Evan, ada seorang perempuan yang tiba-tiba datang ke rumahku, yang ngakunya sebagai pacar Evan. Sontak saja aku kaget, memang dasar Evan bodoh, dia bahkan tidak bercerita apapun tentang pacarnya itu. Justru yang diceritakan saat malam itu perjodohan dengan teman tantenya yang tidak jelas. Dan setahuku Evan memang belum punya pacar sejak putus dari mantan pacarnya saat SMA dulu. Kalaupun aku tahu Evan sudah punya pacar, aku juga tidak akan mau pergi berdua, dan akan menunggu Shella, Havva, dan Rea. Sialnya aku tidak tahu.

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang