Bagian 23

85 26 36
                                    

Aruna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aruna

Saat ini aku baru saja melangkahkan kakiku keluar dari rumah. Aku akan pergi main ke rumah Shella bersama sahabat-sahabatku yang lain.

Kami semua memang membuat jadwal untuk berkumpul di rumah kami masing-masing secara bergantian. Tapi waktunya tidak menentu, karena menunggu kami semua memiliki waktu yang senggang.

Baru saja aku akan masuk ke dalam mobil, ada seseorang yang menghampiriku, sepertinya dia kurir, karena aku bisa melihat ada beberapa paket yang dibawa di sepeda motornya.

“Permisi, apa benar ini alamat rumah Mbak Aruna?” tanya kurir itu sopan kepadaku.

“Iya benar, saya sendiri.”

“Ini ada paket untuk Mbak Aruna.”
Aku merasa bingung karena aku sama sekali tidak merasa memesan barang atau apapun.

“Maaf, mungkin mas salah orang, soalnya saya nggak ada pesan apapun,” kata ku.

“Tapi ini benar kok, Mbak, atas nama Aruna D. Narasha dan alamtnya juga sudah benar. Coba mbak lihat dulu,” kata kurir itu sambil menunjukkan identitas penerima paket kepadaku.
Aku melihatnya, dan memang itu benar untukku.

“Oh baik kalau gitu. Kalau saya boleh tahu, siapa pengirimnya dan dikirim dari mana, Mas?”

“Atas nama Rafka Raditya dan dikirim dari Singapura, Mbak.”

Aku terdiam. Banyak sekali tanya di kepalaku saat ini.

“O..oh oke.”

“Mbak tolong tanda tangan di sini dulu.”

“Makasih, Mas.”

“Baik, saya permisi dulu.”

Aku masih tertegun menatap paket yang saat ini aku pegang. Aku belum tau apa yang dikirimkan Rafka kepadaku. Tapi entah kenapa rasanya aku ingin segera membukanya. Karena jujur saja sejak kurir itu mengatakan ini dari Rafka, pikiranku sudah riuh sekali.

Aku memutuskan untuk tidak jadi pergi ke rumah Shella. Aku mengambil ponsel yang berada di dalam tas yang aku bawa saat ini. Aku menghubungi Shella.

“Halo, Aruna? Kenapa Run?”

“Emm..Shel, maaf kayaknya aku nggak bisa ikut kumpul sama kalian. Aku mendadak nggak enak badan.” Aku berbohong.

“Yaampun kamu sakit? Yaudah nggak papa, kamu istirahat aja dulu, ya.”

“Iya, maaf banget ya, Shell.”

“Udah santai aja. Cepet sembuh ya, Arunaa.”

“Iya. Makasih, ya.”

Aku memutuskan sambungan teleponnya. Maaf aku terpaksa.

Aku mengunci mobilku dan kembali masuk ke rumah.

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang