Dehan
Becanda😆“Cuih!” Umpatku ketika membaca pesan yang dikirimkan olehnya beberapa menit lalu. Jujur saja, awalnya aku begitu kaget saat melihat notifikasi dari seseorang yang sudah begitu asing bagiku.
“Huh! Ngajak main seenak jidat.”
“Gila banget. Lo tuh, aaargh.”
“Bisa-bisanya dia kembali, tiba-tiba ngechat kaya nggak punya rasa bersalah sedikitpun.”
Aku terus-terusan menggerutu setelah menerima chat dari dia, ya, Dehan. Seseorang yang dulu menjadi tempatku pulang, yang sekarang menjadi orang asing. Aku memang sempat mencemaskan dan ingin tahu bagaimana kabarnya beberapa minggu yang lalu, tapi melihat pesan singkat itu aku justru merasa kesal. Aku masih tidak habis pikir, kenapa pesan yang dia kirimkan se menyebalkan itu. Bukan apa-apa, tapi jika aku membacanya kembali, rasanya seperti dua sahabat dekat yang sudah lama tidak berkabar akhirnya bisa berkomunikasi. Tapi kita tidak seperti itu. Ah! Aku tidak bisa menjelaskan, sungguh.
Namun, di sisi lain perasaanku, aku juga merasa sakit. Sakit saat aku menerima pesan dari seseorang di masa lalu yang kembali menghubungi dengan tanpa rasa bersalah, seakan-akan tidak pernah terjadi apapun di antara kami. Perasaan yang bertahun-tahun berusaha untuk aku hilangkan dengan segala kesibukanku. Perasaan yang berusaha untuk aku kubur di ruang hati yang paling dalam. Lalu kembali hadir ke permukaan dengan luka yang ternyata masih sama.
Namun, sepertinya pesan singkat itu menyadarkanku bahwa memang sudah seharusnya aku benar-benar melupakan dan mengikhlaskan semua itu.
“Sepertinya, ini memang saatnya,” ucapku bertekad untuk mulai mencoba merelakan semua yang sudah terjadi, mengubur dalam-dalam perasaan dan kenangan yang selama ini ternyata masih ada.
Aku sebenarnya ingin bercerita kepada Havva tentang hal ini, tapi sayangnya hari ini aku dan dia tidak ada jadwal kuliah. Aku bisa saja menghubungi dia lewat telepon atau mengirimkan pesan, tapi aku tidak suka, lebih nyaman ketika bisa bertemu langsung. Jadi, ya sudahlah besok saja.
Aku melanjutkan kegiatan memasakku yang sempat terganggu gara-gara pesan singkat sialan itu. Kalau boleh jujur, aku tidak suka memasak dan tidak terlalu bisa juga. Tapi entah kenapa hari ini aku ingin sekali iseng-iseng mencoba, hasilnya? Urusan nanti.
⏳⏳⏳
Havva
“AAAA, kok aku salting sih,” teriakku sambil beralih posisi dari yang semula menelungkupkan wajahku ke kasur dengan mendekap ponsel kini menjadi duduk.
“Pake ngajak ke acara gituan lagi, kan aku malu. Malu…tapi mau sih, hehe.”
Dari beberapa bulan yang lalu, aku memang sedang dekat dengan seseorang. Aku juga tidak tahu, kenapa semakin lama aku semakin merasa nyaman, padahal awalnya hanya sebatas teman atau bahkan bukan teman, hanya sebatas kenal secara singkat. Jujur saja, sepertinya aku sudah memiliki perasaan dengan seseorang itu, tapi tetap, aku tidak mau berharap lebih. Sewajarnya saja. Tapi, ah aku tidak bisa bagaimana mendekripsikan perasaanku saat ini.
Aku ingin menghubungi Aruna, tapi aku malu, sungguh. Mungkin besok saja aku akan bercerita kepadanya. Yang paling penting saat ini, aku mempersiapkan diri dengan baik untuk acara nanti malam.
“Hmm, aku harus minta bantuan siapa, ya?” Aku berpikir kira-kira siapa yang bisa membantuku untuk memilih baju dan segala macamnya.
“Dasar bodoh! Aku kan punya kakak.”
“Oke.”
“KAK FANIIIII!!!” teriakku memanggil satu-satunya kakak perempuanku yang 4 tahun lebih tua dariku. Aku yakin suaraku dari dalam kamar bisa menggema di seluruh ruangan rumah ini, dan tentu saja kakakku itu pasti mendengar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Hari Itu
Fiksi Remaja[Follow sebelum membaca] Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda. Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...