Bagian 20

118 37 61
                                    

-Mengapa setiap aku terluka, kamu selalu menjadi tujuan untuk bermuara?-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Mengapa setiap aku terluka, kamu selalu menjadi tujuan untuk bermuara?-

Aruna

Sudah dua hari ini setelah aku mengirimkan pesan kepada Rafka malam itu untuk menanyakan alasan kenapa dia tidak jadi balik akhir tahun nanti, dan sampai detik ini belum ada balasan sama sekali.

Aku memang belum sempat menghubunginya lagi karena kerjaan di kantor cukup banyak. Dan sebenarnya aku juga sengaja tidak menghubungi dia lebih dulu hanya untuk mengetahui apakah dia akan menghubungiku walau hanya sekali, tapi ternyata tidak sama sekali.

Jujur saja sebenarnya aku lelah. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Rafka akhir-akhir ini. Belakangan ini aku sudah sering mengalah karena perdebatan kecil yang seharusnya tidak jadi masalah.

Malam ini aku berniat menghubungi Rafka, bisa tidak bisa, mau tidak mau aku harus membuat semua ini menjadi jelas dan hubunganku dengan dia
kembali membaik.

Apalagi tadi siang saat jam istirahat, aku kembali melihat instatory Rafka pergi berdua dengan perempuan yang sama di malam itu.

Aku tidak munafik, rasanya sakit sekali. Sebenarnya aku tidak pernah melarang Rafka pergi dengan siapapun itu, tapi setidaknya aku tahu dia pergi dengan siapa. Dengan begini, aku merasa tidak dihargai sebagai kekasihnya. Bahkan membalas pesan meski satu kata pun tidak.

Aku merasa belakangan ini hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ini.

"Oke, sekarang juga aku mau bahas hal ini sama Rafka," putusku setelah menarik napas panjang.

Dan kini aku mengambil ponsel yang sedari pulang kantor tadi tergeletak begitu saja di atas kasur. Aku berharap sekali hubungan ku dengan Rafka bisa baik seperti dulu.

Aruna
Sayang, kamu sibuk nggak? Boleh call?

Sekitar 10 menit, akhirnya dia membalas pesanku.

Rafka
Enggak, boleh.

Balasan dari Rafka akhir-akhir ini selalu membuatku menarik napas berat, sangat berbeda dari biasanya.

Aku menghubungi Rafka melalui sambungan telepon, tidak perlu menunggu lama aku sudah bisa mendengar suaranya di seberang sana.

"Kenapa sayang?"

"Aku mau ngobrol sama kamu. Aku rasa ada beberapa hal yang harus kita bicarain, Raf."

"Iya?"

"Kamu ngerasa nggak sih, kalo akhir-akhir ini hubungan kita makin jauh?"

"Enggak, aku ngerasa biasa aja."

Rasanya aku kesal sekali, bagaimana bisa dia menjawab biasa saja, sedangkan aku di sini merasa sepihak dalam hubungan ini. Aku menarik napas, berusaha agar bisa berbicara baik-baik dan tidak emosi.

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang