“Upload nggak, ya?” Aku bermonolog sedari tadi karena bimbang untuk upload foto-foto perayaan setelah sidang skripsi kemarin. Karena memang sudah lama aku tidak post foto di Instagram, tapi akhirnya aku memutuskan untuk upload foto-foto tersebut.
“Ok, done!”
Aku kembali melihat foto-foto itu satu per satu, senyuman dan tawa yang begitu tulus dan bahagia terpancar dari wajah semua orang yang ada di foto tersebut, termasuk aku. Namun di sisi lain, aku merasa kebahagiaan itu kurang lengkap. Rasanya ada bagian dari diriku yang hilang. Ada satu sisi di dalam diriku yang rasanya sudah tidak bisa aku kenali lagi sejak beberapa tahun yang lalu. Seharusnya, ada dia. Andai ada dia. Sedari tadi hatiku terus mengatakan seperti itu. Lain dengan pikiranku yang menentang semua pernyataan dan perandaian itu.
“Bagaimana bisa aku tetap menjadi Aruna yang dulu, Aruna yang kamu kenal. Sedangkan aku sudah tidak lagi mengenalmu, Dehan.”
Aku mematikan ponselku dan melemparnya asal ke kasur. Aku kembali melanjutkan aktivitasku Bersiap-siap menuju ke kampus untuk meneyelesaikan semua persyaratan wisuda. Ya, seperti itulah pelampiasanku, selalu mencari kesibukan untuk menghindari perasaan-perasaan kelam semacam itu.
⏳⏳⏳
Dehan.
“Selamat, Run!” ucap gue lirih ketika gue melihat postingan Aruna di Instagram satu jam yang lalu. Gue menahan untuk tidak menyukai postingan itu sebisa mungkin. Bukan karena gue nggak suka, tapi gue takut. Memang pengecut. Gue terus memandangi foto-foto di postingan itu. Mengamati setiap senyuman dan tawa seorang perempuan di sana yang selalu menjadi kesukaan gue.
“Kamu selalu hebat,” gumam gue lagi. Sayangnya gue nggak bisa menyampaikan semua itu secara langsung kepadanya. Gue hanya bisa menyemangati, memberi selamat, dan ungkapan-ungkapan lain dari dalam hati ketika gue melihat setiap aktivitasnya. Jujur, ternyata gue juga merasakan sakit di hati gue saat gue nggak bisa selalu ada di sisinya.
“Sayang, ternyata mimpi kita jauh beda, ya? Hahaha.”
“Iya, beda banget.”Lalu kami tertawa bersama saling menatap satu sama lain. Dia terdiam sejenak, memandangi langit malam yang penuh bintang kala itu. Gue memandangi setiap jengkal wajah indahnya yang penuh senyuman.
“Aruna,” panggil gue lembut dengan membelai kepalanya yang sedari tadi berada di pangkuan gue. Dia mengalihkan tatapannya yang sedari tadi memandang langit malam menjadi menatap kedua mata gue dengan penuh perasaan.
“Hmm?”
“Sayang, mimpi kita memang berbeda, tapi aku berharap kita selalu bisa sama-sama dan berjalan beriringan menggapai mimpi itu.” Dia tersenyum mendengar kalimat yang baru saja gue ucapkan. Lalu dia merubah posisinya menjadi duduk tepat di samping gue dan menatap gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Hari Itu
Teen Fiction[Follow sebelum membaca] Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda. Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...