Agustus 2020
Aruna
Kehidupan di film-film yang ditampilkan di layar kaca memang terlihat indah, tapi semua itu semu. Aku baru bisa merasakannya sekarang. Aku tidak mau lagi bicara ingin hidup seperti yang ku tonton di film, karena kehidupan yang sesungguhnya jauh lebih kompleks, bukan hanya bersenang-senang saja seperti kebanyakan cerita yang bullshit itu.
Dulu saat aku masih SMP, SMA, aku melihat film yang kebanyakan menceritakan kehidupan anak kuliah. Dulu, aku membayangkannya dengan sangat indah. Aku bisa berkuliah dan bisa dengan bebas melakukan apapun yang aku suka. Tidak salah jika aku membayangkannya dengan begitu indah, karena yang dipertontonkan di film hanya yang senang-senang saja.
Memakai baju bebas, bisa masuk siang, hanya membawa binder dalam totebag, lalu pulang atau nongkrong dengan teman-teman. Siapa yang tidak ingin seperti itu, dulu hal itu sangat menarik di mataku yang masih menjadi anak sekolahan yang harus sekolah dari pagi hingga sore dengan berbagai buku pelajaran tebal yang harus dibawa setiap hari, huft...sungguh melelahkan!
Tapi sekarang saat aku sudah menjadi anak kuliah, aku tertawa merutuki diriku yang bodoh di masa lalu itu. Bisa-bisanya berpikiran konyol seperti itu hanya karena menonton film. Aku sudah merasakan bagaimana sulitnya menjalani hidup sebagai mahasiswa apalagi sebagai mahasiswa yang sudah memasuki semester 6, rasakan abadi.
"Run, kamu mau langsung pulang?" Gadis dengan rambut lurus sebahu itu membuyarkan lamunanku, Havva namanya. Dia salah satu teman baikku di perkuliahan yang ku kenal sejak masa orientasi kampus. Memang namanya agak sedikit aneh, langka, dan cantik seperti orangnya. Ketika aku bertanya arti nama Havva, katanya Havva memiliki arti sumber kehidupan. Luar biasa.
"Hah...iya. Iya aku mau langsung pulang aja deh, Va. Pengen istirahat," jawabku sembari memasukkan laptop yang sedari tadi aku bawa ke dalam totebag.
"Yaudah, kamu hati-hati ya kalau pulang, udah hampir malem. Aku masih nanti pulangnya, masih ada urusan di luar hehe," ucapnya seraya menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi.
"Dih, urusan apaan? Kaya orang penting aja," ledekku. Dia hanya tertawa mendengar ucapanku.
"Yaudah, aku duluan." Aku berpamitan menepuk pundaknya lalu berjalan ke arah parkiran meninggalkan Havva.
Sungguh, aku ingin segera sampai rumah dan merebahkan tubuhku. Sebenarnya bukan badanku yang rasanya terlampau lelah, otakku jauh lebih lelah. Sebenarnya di semester ini aku sudah mulai menyusun skripsi, karena memang secara aturan akademik di kampus aku sudah memenuhi syarat. Jadi aku mencoba saja, karena memang ini yang aku inginkan dari dulu, bisa lulus lebih cepat.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit, aku sudah sampai di rumah. Seperti biasa, sepi. Paling hanya ada Yuna, adikku yang saat ini duduk di kelas 11 SMA. Sedangkan mama tentu belum pulang dari butik. Jika kalian bertanya di mana papaku, aku sudah tidak tinggal bersama papa semenjak mama dan papa memutuskan untuk berpisah sejak aku masih kelas 6 SD. Tapi aku dan Yuna masih bersyukur, karena meskipun orang tua kami sudah berpisah, kami semua masih menjalin silaturahmi dengan baik. Tidak jarang juga papa main ke rumah hanya untuk sekedar menemuiku dan Yuna atau membawakan makanan kesukaan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Hari Itu
Teen Fiction[Follow sebelum membaca] Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda. Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...