[Follow sebelum membaca]
Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda.
Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aruna
“Sayang, mau aku bantu?” tanya Rafka saat aku sedang merapikan meja tempatku bekerja.
Kali ini benar-benar berantakan, karena aku sengaja mengeluarkan semua berkas-berkas yang sekiranya sudah tidak dibutuhkan untuk aku bawa pulang agar tidak menumpuk.
“Ish Rafka, nanti kalo ada yang denger gimana?” kataku setengah berbisik dan tersenyum ke arahnya. Dia hanya tertawa kecil melihatku.
Beberapa orang di kantor memang sudah tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Rafka, tapi aku dan dia sudah sepakat untuk tetap bersikap professional selayaknya teman kerja biasa ketika di kantor. Tapi sepertinya kali ini dia sengaja menggodaku, memang dasar tengil.
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia pikir cuma dia yang bisa tengil dan ngerjain orang. Hahaha. No, Dear.
Dia mengumpulkan berkas yang ada di atas mejaku menjadi satu. Sedangkan aku masih sibuk mencari dan mengeluarkan berkas-berkas lain yang berada di loker meja.
Bukk.
Berkas yang hendak aku angkat ke atas meja itu jatuh berserakan di lantai. Aku segera mengambil dan merapikannya. Rafka turut membantuku.
Saat aku akan berdiri, saking riwehnya aku tidak memperhatikan benda di sekelilingku. Kepalaku hampir terpentok sudut meja yang cukup lancip itu. tapi tidak, tidak sampai mengenai kepalaku, tangan Rafka sudah menutupi sudut meja itu lebih dulu di sana.
“Hati-hati,” katanya ketika dia merasa kepalaku mengenai tangannya yang menutupi sudut meja itu. Sementara dia masih sibuk mengambil sisa berkas-berkas yang tadi jatuh di lantai. Sesaat kemudian dia menatap ke arahku.
“I-Iya. Makasih.” Entah mengapa aku masih saja gugup di momen-momen kecil seperti ini. Padahal sudah satu bulan aku menjalin hubungan dengan Rafka.
Rafka selalu perhatian kepadaku, bahkan hal sekecil apapun. Seperti dia. Ah tidak. Selalu saja seperti itu. They're different. Aku tidak boleh menyamakan mereka. Saat ini aku sedang bersama Rafka, bukan dia lagi.
“Huh, selesai juga.” Aku menghela napas lega. Tepat jam pulang kantor.
“Mau langsung pulang?” Rafka bertanya kepadaku.
Sejak aku jadian dengan Rafka, aku selalu berangkat dan pulang bareng dia. Awalnya aku sudah menolak karena jarak rumah kita lumayan jauh, tapi dia tetap bersikeras. Katanya biar enak saja kalau bareng atau kalau mau keluar. Jadi aku pasrah dan mengiyakan.