[Follow sebelum membaca]
Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda.
Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aruna
“RUN!” Aku mendengar suara Havva berteriak memanggilku ketika aku baru saja melangkahkan kakiku keluar dari ruang dosen.
“Ssst! Jangan teriak, ih.”
“Oh iya, lupa hehe.”
Aku pun menarik pelan tangan Havva dan kami berjalan menyusuri lorong kampus menuju gazebo.
“Run, aku mau cerita.”
“Aku juga.”
“Ih, kok sama. Bisa barengan, hahaha.” Aku dan Havva tertawa bersama.
“Kamu aja yang duluan cerita, Run.”
“Kenapa nggak kamu dulu?”
“Eumm, aku malu hehe. Cepet gih cerita.”
“Baiklah. Jadi gini, kemarin Dehan tiba-tiba chat aku.”
“SUMPAH DEMI APA?!” Aku segera membungkam mulut mungil Havva itu, aku tidak habis pikir bisa-bisanya dia berteriak sekeras itu di tempat terbuka seperti ini. Sepertinya berteriak memang sudah menjadi hobinya.
“Biasa aja kali, teriak mulu, heran.”
“Spontan, Run. Chat gimana?”
“Gatau, males aku jelasinnya, nih baca sendiri.” Ucapku lesu sambil menyodorkan ponselku kepada Havva, yang sudah ku bukakan room chatku dengan Dehan.
2 menit.
“OMG!! Gila. Tapi, aku nggak bisa komen apa-apa sih, masih nggak habis pikir.”
“Ya kan? Kamu aja nggak habis pikir, apalagi aku,” ucapku sedikit menggebu karena kesal.
“Yang sabar ya, semangat move on nya! Nggak boleh goyah hahaha,”
“Udah move on.” Jawabku cepat.
“Iya deh iya udah move on. Tapi udah bener-bener ikhlas?”
“Gantian, sekarang kamu yang cerita.” Aku mengalihkan pembicaraan itu dengan mempersilahkan Havva untuk bercerita, tapi anehnya dia hanya senyum-senyum tidak jelas, semakin membuatku penasaran.
“Woe, disuruh cerita malah senyum-senyum,” tegurku.
“Run, jadi…” dia malah menghentikan ucapannya dan kembali senyum-senyum tidak jelas dengan menutup mukanya yang sudah memerah seperti badut.
“Havva, ayolah.”
“Oke, sabar. Jadi, aku udah nggak jomblo lagi. Hahahaha.”
“HAH?! KOK BISA?” Tadi aku mencibir Havva karena dia selalu berteriak, tapi sekarang aku termakan omonganku sendiri, aku berteriak. Tapi jangan salahkan, aku benar-benar shock mendengar pernyataan Havva itu.