Bagian 32

34 5 0
                                    

Aruna

Saat ini aku menyadari, kalau selama ini ternyata Dehan selalu memiliki tempat di hatiku. bahkan saat aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan dia, dia masih akan selalu ada di dalamnya.

Dan di saat aku mencoba untuk Ikhlas dengan semuanya, ternyata Tuhan seperti memberikan jawaban dan menunjukkan kebenaran.

Sebenarnya, hatiku rasanya masih tidak baik-baik saja setiap kali aku bertemu dia dan menatap wajahnya. Ada perasaan yang selama bertahun-tahun ini tidak bisa aku jelaskan. Yang aku tahu, jantungku selalu berdegup kencang dan mataku memanas karena menahan air mata.

Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku ingin Kembali melihat keadaan Dehan saat ini.

meskipun aku rasanya belum siap bertemu dengan dia lagi, apalagi dalam keadaan dia sudah sadar saat ini. tapi aku bersyukur, karena dia baik-baik saja.

Tidak butuh waktu lama untuk aku sampai di rumah sakit tempat Dehan dirawat, karena kebetulan jalanan juga tidak terlalu macet kali ini.

aku berjalan menyusuri Lorong rumah sakit untuk bisa sampai di ruang rawat inap Dehan.

Saat aku sampai di sana, sepi. Entah di mana bunda dan ayah. Aku memberanikan diri untuk langsung masuk kamar, mungkin saja mereka juga ada di dalam.

Ceklek…

Aku tidak menemukan siapapun saat aku memasuki ruangan itu, dan Dehan? Di mana dia? Ranjang rumah sakit itu kosong. Tapi aku yakin dia belum pulang, karena masih dalam masa pemulihan. Lagipula aku juga masih melihat ponselnya di sana.

“Aruna?” itu suara bunda yang baru saja datang dari luar ruangan ini.

“Bunda? Dehan mana?” tanyaku sedikit panik. Bukan sedikit sebenarnya, aku benar-benar panik.

“Ada, dia tadi katanya bosen di kamar. Jadi minta jalan-jalan keluar,” jawab bunda dengan tenang.

Bosen? Memang manusia satu itu sedikit menjengkelkan, baru satu hari tapi dia sudah bosan. Tidak memikirkan kondisinya.

“Hah? Jalan-jalan ke mana, Bun?”

“Tadi sih minta anter ke depan sama suster.”

“Bundaa, kan dia belum bener-bener pulih,”
Bunda hanya tersenyum melihatku yang benar-benar panik saat ini. dia mengusap pelan rambutku.

“Tadi bunda juga nggak ngizinin, tapi kamu tau sendiri kan, dia memang keras kepala.”

“Hmm, yaudah aku mau nyusulin dia dulu, ya, Bun?”

Bunda mengangguk pelan dan tersenyum. Saat aku hendak beranjak dari tempat itu, bunda kembali memanggilku.

“Aruna?”

“Iya, kenapa, Bun?”

“Bunda mau tanya sama kamu, boleh?”
Aku mengangguk kecil.

“Apa kamu masih punya perasaan sama Dehan?”

Aku bingung harus menjawab seperti apa. Karena perasaan itu memang selalu ada, bukan masih.

“Aruna, kalo kamu belum bisa jawab pertanyaan bunda, nggak papa. Tapi bunda tahu, kamu sama Dehan, kalian masih sama-sama sayang. Ikutin kata hati kamu, apapun keputusan kamu, bunda akan selalu dukung kamu ataupun Dehan.”

Saat mendengar perkataan bunda, rasanya aku semakin yakin dengan perasaanku saat ini. Aku mungkin bisa saja membohongi orang lain. Tapi hatiku, sama sekali tidak bisa aku bohongi.

Aku hanya tersenyum kepada bunda.
“Makasih, ya, Bun.”

“Iya, yaudah katanya mau nyamperin Dehan.”

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang