Bagian 33

32 4 0
                                    

September 2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

September 2023

Aruna

Empat bulan berlalu, hubunganku dengan Dehan sejak saat itu semakin baik sekarang. Aku menjalani hari-hariku dengan lebih bahagia. Meskipun sekarang tidak seperti dulu yang selalu bisa bertemu setiap hari, tapi rasanya selalu terasa dekat.

Bahkan dalam waktu empat bulan ini, aku bisa menghitung dengan jari berapa kali aku bertemu dengan Dehan. Dan setiap kali kami bertemu, kami selalu menghabiskan waktu untuk mendatangi tempat-tempat favorit kami dulu. Tempat-tempat yang penuh dengan kenangan.

Awal pertemuanku dengan Dehan delapan tahun yang lalu mungkin tidak begitu berkesan. Mungkin bisa dikatakan sangat menjengkelkan. Dan dulu, aku membenci pertemuan pertama kali itu.

Dan seiring berjalannya waktu, hatiku luluh. Aku tidak tahu bagaimana bisa seperti itu. Tapi yang jelas, Dehan dengan cintanya yang mampu membuatku jatuh hati.

Dia memang berbeda, dia selalu punya caranya sendiri dalam menunjukkan perasaan itu kepadaku. Awalnya aku mungkin belum terbiasa dan belum bisa menerima, tapi saat dia tidak lagi di sampingku saat itu, aku merindukannya.

“Ngelamun aja teruuss!” suara itu, kini aku bisa kembali mendengarnya kapanpun aku mau. Kalau dipikir-pikir, dia seperti dua orang di mataku.

Terkadang terlampau manis dan romantis, terkadang menjengkelkan seperti saat ini.

“Dihh, siapa yang ngelamun?” Aku mengelak. Sementara dia masih fokus menyetir mobil.

“Mang eak?” sungguh rasanya aku ingin menggampar dia saat ini juga, tapi aku tidak ingin mati konyol.

“Ternyata setelah delapan tahun, kamu masih sama, ya, sayang. NYEBELIN!”

Aku heran, dia memang jauh dari kata romantis seperti kebanyakan laki-laki di luar sana. Tapi kenapa aku bisa menjatuhkan hati pada dia, hingga tidak ada sedikitpun ruang untuk yang lain. Ya, takdir.

Dia hanya tertawa mendengarku tadi.

“Sayang?” ya, kan? Apa aku bilang? Dia ini memang dua orang. Bisa berubah dalam hitungan detik.

“Hmm?”

“Nggak jadi, manggil doang.”

“ARENDRA! Kenapa sih, nyebelin banget? Kebiasaan deh.”

“Aku suka kamu manggil nama belakang aku kayak gini,” katanya dengan tersenyum manis kepadaku.

Memang, aku jarang sekali memanggil dia dengan nama belakangnya, aku hanya memanggil nama itu saat aku merasa kesal dan jengkel dengan tingkahnya itu. Dan dia selalu suka saat aku memanggil dia Arendra, meskipun dengan aku berteriak kesal seperti tadi. Tidak tau apa alasannya.

“Kenapa gitu?” tanyaku.

“Nggak tau, suka aja. Karena nggak ada yang manggil aku dengan nama belakang aku, dan itu cuma kamu. Jadi aku selalu suka, yaa…meskipun bikin telinga aku pengang.”

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang