Bagian 8

113 47 62
                                    

Reyvan

Kali ini gue sedang dalam perjalanan pulang ke Bandung setelah sekian lama gue berada di Surabaya untuk menyelesaikan pendidikan gue di sana. Kalau ditanya kenapa gue nggak kuliah di sekitaran Bandung atau Jakarta, jawabannya karena gue punya nenek dan kakek di sana. Katanya kalau gue tinggal di sana mereka nggak akan kesepian.

Kalau bicara Bandung, kota kelahiran gue, ada satu nama yang selalu gue inget. Tapi yasudahlah tidak usah dibahas, sudah menjadi masa lalu. Tapi rencana pertama gue setelah pulang ke Bandung adalah membuat jadwal pertemuan dengan seseorang itu. Bukan pertemuan apapun, hanya untuk menjalin silaturahmi.

Gue mengirimkan pesan singkat kepada seseorang tersebut, berharap dia masih mau membalas pesan gue. Ya, walaupun gue nggak tahu, apakah nomor gue masih disimpan atau tidak.

Reyvan
Run.
Aku Reyvan.

Cukup lama gue menunggu balasan dari seseorang itu, ya, Aruna. Seseorang istimewa yang pernah ada di kehidupan gue saat itu. mungkin sampai saat ini juga masih istimewa, tetapi cukup mengagumi dan menghilangkan rasa cinta yang dulu gue punya untuk dia.

45 menit.

Aruna
Iya, ada apa?

Tak butuh waktu lama gue langsung membalasnya, mumpung dia sedang online. Gue langsung saja menyampaikan maksud gue, biar tidak bertele-tele.

Reyvan
Boleh kita ketemu?

Aruna
Buat apa?

Reyvan
Cuma mau ngobrol aja, udah lama juga nggak ketemu. Boleh?
Kalau enggak, juga nggak papa kok, Run.

Aruna
Boleh. Kapan?

Reyvan
Nanti sore bisa?

Aruna
Oke, bisa.

Reyvan
Makasih, Run. Nanti langsung ketemu di tempat aja, aku shareloc.

Aruna
Oke.

Sebenarnya, gue juga belum tahu mau ngomong apa saat nanti bertemu Aruna, tapi biarlah mengalir saja.

“Sampai juga.”

Rasanya semua lelah yang gue rasakan setelah perjalanan jauh hilang begitu saja ketika gue sampai di halaman rumah tempat kelahiran gue, suasana yang selalu gue suka yang tidak pernah berubah. Gue sengaja tidak langsung masuk ke dalam rumah, masih menatap rumah yang selama ini gue tinggalkan cukup lama, memandangi suasana kanan kiri yang merupakan rumah tetangga gue, ya, memang di sini semua rumah berdekatan. Tidak seperti saat di rumah nenek, gue masih bisa melihat pemandangan yang hijau nan asri.

“Reyvan!” terdengar suara wanita paruh baya yang tengah melangkahkan kaki keluar dari rumah gue, ya, itu bunda.

“Bunda!”

Tanpa aba-aba bunda langsung menghampiri dan memeluk gue, tentu gue dengan hangat membalasnya. Rindu.

“Kenapa nggak langsung masuk ke dalam, sayang?” tanya bunda dengan suaranya yang begitu lembut, yang selama ini hanya bisa gue dengar melalui telepon.

Setelah Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang