April 2021
Shella
“Astaga, Run!” seru Rea sambil geleng-geleng menatap Aruna.
“Peka dikit kali, Aruna.” Havva menambahkan.
Sementara aku hanya diam dan pasrah melihat sikap sahabatku yang tingkat kepekaannya nol persen itu, siapa lagi kalau bukan Aruna. Dan dia yang ditatap dengan tatapan geram oleh kami hanya diam seperti anak lugu.
Aku, Havva, dan Rea saat ini sedang berkumpul di rumah Aruna. Kami sengaja menyempatkan berkumpul di weekend kali ini karena sudah lama sejak hari kelulusan Havva dan Aruna saat itu kami sudah jarang bertemu. Sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Jangan tanya dimana Evan sekarang, tentu sedang menghabiskan waktu dengan kekasihnya itu, yang aku saja sebagai sahabatnya tidak diberi tahu kalau bukan Aruna yang bercerita. Memang dasar, udah punya pacar lupa sama sahabatnya.
“Kenapa sih? Peka apanya?” pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Aruna.
Sebenarnya aku juga heran, bisa-bisa nya dia se tidak peka itu, se lugu itu sekarang. Mungkin efek kelamaan jomblo atau bagaimana aku tidak tahu. Ah sudahlah, sepertinya kami memang harus menyadarkan dia kalau ada seseorang yang sedang berusaha mendapatkan hatinya.
“Kamu nggak sadar kalau semua itu dia lakuin karena dia suka sama kamu, Run?” Kini giliran aku yang bertanya.
Dia mengernyitkan dahinya, “Hah? Ngaco, mana mungkin.”
“Run, dengerin aku, ya. Semua yang dilakuin Rafka ke kamu itu menurut aku udah kaya bukan temen.”
“Maksud kamu?” pertanyaan konyol macam apa lagi itu.
“Run, mana ada sih temen kerja, apalagi cowo, yang rela nungguin kamu tiap kali lembur. Yang rela antar jemput kamu beberapa kali saat mobil kamu nggak bisa padahal jaraknya jauh dan harus puter balik. Yang apa-apa selalu ngajakin kamu padahal dia punya temen lain yang bisa dia ajak kapanpun. Yang sampe ngajakin kamu main ke rumahnya cuma buat ngajakin makan bersama sama keluarganya. Coba deh pikirin.” Aku menjelaskan panjang lebar berdasarkan cerita yang dia sampaikan kepada kami tadi.
“Nah itu, Run.” Rea menimpali, dan Havva yang manggut-manggut setuju dengan perkataanku.
“Apa mungkin, ya?”
“Ya mungkin lah, nggak ada yang nggak mungkin,” sahut Havva yang sedikit ngegas.
“Dan ya, satu lagi. Kamu tadi bilang ke kita kan kalau Rafka pernah ngomong suka sama kamu, pernah ngajakin kamu pacaran?” kini saatnya Rea menginterogasi.
“Iya, tapi kan waktu itu dia bilang cuma bercanda.”
Sungguh, kali ini aku tidak habis pikir mendengar jawaban yang keluar dari mulut Aruna. Aku akui dalam hal apapun dia pintar dan jenius, kecuali urusan perasaan seperti ini, sedikit soak pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Hari Itu
أدب المراهقين[Follow sebelum membaca] Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda. Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...