[Follow sebelum membaca]
Setelah hari itu, mereka berjalan di jalan masing-masing yang tak lagi sama. Aruna dengan segala mimpinya, dan Dehan dengan dunianya. Semuanya sudah berbeda.
Apa artinya dunia jika tak dapat menikmati indahnya. Kepada siapa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Va, kamu mau nemenin aku nggak?"
"Eumm, mau nggak, ya?"
"Dih, gitu ya sekarang,"
"Hahaha, mau nemenin kemana, tuan putri Aruna yang cantik?"
"Aku mau ke kafe baru yang ada playground nya itu loh."
"HAH?! Hahahahaha..."
"Ngapain ketawa? Ada yang lucu?"
"Hahaha, Run...Run, gimana nggak ketawa. Orang modelan kaya kamu yang anti main ke kafe, tiba-tiba minta aku buat nemenin ke kafe."
"Ih, biarin sih. Orang temennya mau seneng juga."
"Iya, iya. Mau pergi kapan? Sekarang?"
"Boleh, yuk."
Wajar saja aku melihat reaksi Havva seperti itu, karena memang dari dulu aku nggak pernah suka main ke kafe walau hanya sekedar nongkrong atau ngopi cantik seperti kebanyakan teman-temanku lainnya. Bukan apa-apa, memang kurang suka saja. Tetapi kali ini aku tertarik dengan cafe yang baru grand opening sekitar 3 hari lalu. Yang membuat aku tertarik, katanya sih ada playground nya, pasti lucu dan seru. Lagipula tempatnya tidak jauh dari kampus.
Di kafe
"Wah, rame banget!"
"Iya lah, orang namanya aja baru buka."
"Hehe iya juga, btw kamu mau pesen apa, Run? Biar aku yang pesenin." Havva bertanya kepadaku, sedangkan aku masih mengamati sekitar setelah aku masuk ke dalam kafe itu.
"Eumm, matcha aja deh."
"Udah ketebak, yaudah kamu cari tempat duduk dulu aja."
"Siap," kataku tersenyum manis seraya memeragakan gerakan tangan yang sedang hormat seperti saat upacara bendera.
Mataku masih berkeliling menelisik ke seluruh sudut di kafe itu, dan aku tertuju pada satu tempat paling pojok dekat playground. Benar saja, kafe ini rame dan uniknya banyak anak-anak di sini. Kalau kebanyakan kafe biasanya pengunjungnya adalah remaja atau orang dewasa yang sibuk bekerja dan memilih duduk di working space, ini berbeda. Aku sedari tadi memperhatikan pengunjung di kafe ini berasal dari semua kalangan, mulai dari remaja seusiaku, para orang tua yang membawa anak-anaknya, hingga orang-orang yang terbilang sudah berusia lanjut.
Aku segera menuju bangku yang dari tadi sudah ku incar dari kejauhan. Memang sedikit berisik, karena banyak anak-anak sedang bermain di playground yang persis berada di belakang bangku yang saat ini aku duduki. Tapi aku suka.
"Silahkan, tuan putri Aruna yang cantik." Havva meletakkan segelas matcha di hadapanku dengan berlagak seperti pelayan Kerajaan. Sementara dirinya hendak duduk dan meletakkan segelas minuman yang sepertinya berisi kopi dingin, entah apa nama dan jenisnya, aku tidak tahu.