Zyan & Dinda [2] end

2.4K 221 17
                                    

"Daa.. Kakak.."

"Daa.."

Dinda melambaikan tangan pada seorang anak perempuan kecil yang baru saja berpamitan pulang.

Langit sudah gelap sekali, gemintang tak satupun bermunculan sangking pekatnya malam. Angin terasa sangat sejuk di bulan Desember ini. Musim penghujan.

Anak kecil tadi adalah yang terakhir. Karena setelahnya rumah Dinda kembali sunyi. Malam ini Dinda sengaja mengadakan makan bersama untuk anak-anak didiknya. Anak-anak yang ia ajari les gratis di rumahnya setiap malam. Dan malam ini adalah malam terakhir karena besok adalah libur sekolah.

Dinda sengaja berdiri lama di pintu sampai anak tadi benar-benar sudah tidak terlihat. Perempuan itu tersenyum tipis dan helaan nafasnya terdengar cukup pelan.

Tak banyak yang ia kerjakan lagi. Dinda hanya mengambil secangkir teh dan duduk diam di depan teras rumahnya. Di kursi berbahan rotan bersama tiga biji biskuit dipiring kecil berwarna biru.

Suara jangkrik menghiasi malam. Sesekali langit tampak cerah karena kilat petir yang mengintip tanpa suara.

Dinda termenung cukup lama, ia melipat kedua kakinya dan memeluknya sekenan. Bersandarkan kursi rotan dan kepulan teh hangat. Menatap jauh sekali kearah langit yang kelam.

Sepi adalah temannya.

Sunyi adalah karibnya.

Menjalani hari-hari seperti ini bukan masalah yang berarti. Ia terbiasa setelah satu tahun berlalu.

Satu tahun yang ia jalani dengan sangat monoton dan biasa-biasa saja. Sangking datarnya Dinda bahkan tidak ingin menghitung hari setelah Ayahnya pergi. Tapi sayangnya, Dinda selalu ingat hari itu. Bertepatan satu tahun Ayah meninggalkan dirinya seorang diri di dunia yang menurut Dinda tidak pernah adil ini.

Baginya menjalani kehidupan sendirian adalah...

Hemm..

Keharusan?

Jika ia bangun dan masih bernafas, maka akan ia jalani hari itu. Sederhana.

Tak lama ponsel Dinda berdering tanda notif pesan baru masuk. Ia hanya meliriknya sedikit untuk membaca topik bahasan teman satu kantornya. Dinda walaupun tak banyak bicara dan terkesan sering sendirian, dia tetap masuk dalam grub teman-teman yang berjumlah 4 orang. Walaupun keaktifannya di dalam grub sangat minim.

"Dinda?"

"Eh.. Bibik."

"Jangan melamun, segera masuk bentar lagi hujan loh."

Dinda hanya tersenyum tipis. Tak banyak komentar, ia hanya memperbaiki duduknya saja. Dilihatnya Bibiknya mendekat. Memang di kampung sebagian besar tetangga adalah saudaranya.

"Makanya cepetan nikah. Biar nggak sendirian terus."

Dinda kembali tersenyum. Pembahasan ini lagi, ia sungguh risih sebab kebanyakan saudara-saudaranya mengatakan hal yang sama.

"Mau bibik kenalin sama orang nggak?"

Lagi.. Lagi..

"Aduh bik.."

"Huss.. Jangan nolak terus, entar nggak laku kamu."

Ya gimana nggak nolak yang dikenalin nggak ada yang bener.

"Kali ini kerjaannya bagus, cakep pokoknya, tapi ya gitu umurnya agak jauh dari kamu. Duda anak satu. Ditinggal cerai sama mantan istrinya. Tapi anaknya tinggal sama man-"

"Eh bik.. Ya ampun mau hujan tuh. Saya masuk dulu ya. Bibi juga harus pulang nanti kehujanan. Duluan ya bik.. Assalamualaikum."

"Ehh belum selesai ngomong.. Aduhh susah bener dibilangin anak ini. Ya udah waalaikumsalam."

(One Shot) You & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang