Empat tahun berlalu...
Vega tersenyum saat menginjaki bandara Seokarno Hatta di Jakarta. Akhirnya ia kembali lagi setelah lulus SMA dan mengikuti orang tuanya ke Pekanbaru, kemudian kuliah di sana.
"Vega?!" suara melengking menyentak gadis yang namanya dipanggil tadi. Vega menoleh dan kaget melihat Ratih. Kemudian Ratih pun memeluk Vega amat erat.
"Gilak lo! Udah beda banget sekarang." Ratih menepuk-nepuk punggung Vega. Membuat gadis itu ikut tersenyum.
"Nggak nyangka bisa ketemu di bandara. Semua temen SMA kita pada kepo tauk lo nggak ikut perpisahan sekolah, ternyata pindah."
"Iya, panjang ceritanya, Tih." ucap Vega. Gadis itu memang langsung segera pindah ke Pekanbaru -kampung halaman ibunya- seusai ujian nasional. Ibunya sakit keras dan ingin tinggal di kampung. Ternyata selama sebulan di Pekanbaru akhirnya Ibu dari Vega meninggal. Jadilah ia dan ayahnya tinggal di sana berdua. Tidak ingin jauh dari makam sang ibunda.
Vega terkekeh mendapati Ratih merenggut. Ratih adalah teman sekelasnya semasa SMA. Mereka tidak terlalu dekat tapi sepertinya mereka akan menjadi dekat sebentar lagi.
"Ngapain ke Jakarta?" Ratih bertanya antusias.
"Gue ikut acara dari salah satu platform, kami bakal- "
"Don't say it. Lo ke Singapur dan Malaysia selama seminggu?! Ve!! Gue juga!!"
Vega tak menyangka. Ia tersenyum mendapatkan fakta bahwa ia akan sama-sama berangkat dengan Ratih selama perjalanan selama seminggu kedepan. Paling tidak ia punya teman.
Mereka pun sedikit berbincang melepas rindu. Sampai akhirnya mereka menuju titik lokasi perkumpulan orang-orang yang mengikuti acara dari platform tersebut.
"Oh My Gad!!!" Vega mengernyit melihat Ratih melotot kearah depan sambil berteriak. Ia mengikuti pandangan Ratih. Dan yang bisa Vega rasakan adalah..
Kehampaan.
***
Tidak ada yang tahu tentang takdir dimasa depan. Begitupun Vega. Entahlah ia harus bersikap seperti apa. Ia sendiri bingung.
Ratih sih biasa saja. Malah heboh sekali. Bagaimana tidak? Dari sekian mahasiswa dan begitu banyak manusia di seluruh Indonesia. Mengapa 150 orang yang terpilih dan lolos dalam agenda platform tersebut harus membuatnya bertemu dengan lelaki itu?
Lo udah move on.. Plis Vega.. Jangan lebay deh, tiga tahun lebih lama dibandingkan tiga bulan.
Untungnya antara Vega dan lelaki itu juga perempuan itu. Berbeda LO. Atau kakak penjaga -istilah sebutan Ratih-.
"Tih.. Gue keluar bentar ya, mau beli pembalut." Vega merintih memegangi perutnya. Hari pertama mens memang hal paling ia benci. Untung Ratih punya satu pembalut cadangan.
"Oke, maaf ya nggak bisa nemenin." Ratih merogoh tisu dan membuang ingus di sana tanpa malu. Sial sekali ia harus demam di tengah-tengah agenda mereka. Padahal besok masih ada kunjungan ke salah satu universitas terbaik Malaysia.
Vega pun segera pergi dari dalam kamar mereka menuju minimarket terdekat. Untung di samping minimarket ada apotek. Ia bisa membeli obat pereda rasa nyeri dan obat untuk Ratih.
Langit tampak menghitam. Malaysia atau Pekanbaru tak jauh berbeda. Tak sulit bagi Vega untuk berada di sana seorang diri seperti sekarang. Ia bisa bahasa melayu. Bahasa ibunya. Maka dari itu ia tak meminta ditemani siapapun.
Saat melangkah menuju minimarket. Vega dapat merasakan ada seseorang mengikutinya. Alih-alih ketakutan, gadis itu diam sejenak.
"Ngapain lo ngikutin gue?" Vega berujar dingin tanpa menoleh kebelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
(One Shot) You & I
RomanceBerisi cerita random singkat tentang cinta Oneshot / cerpen Langsung baca aja