Bagas & Laras

8.5K 417 24
                                    

"Anak Papa cantiknya." Bagas tak henti menciumi pipi gembul gadis mungilnya di dalam pangkuan. Bayi berusia empat bulan tersebut mengoceh dan sesekali memainkan bibirnya. Asik membalas perkataan papanya.

Dari arah dapur, sang Mama sedang mencuci piring bekas makan malam. Dibantu asisten rumah tangganya di sudut ruangan. Juga mempersiapkan keperluan untuk besok dan lain halnya.

Denting jam di dinding mengusik fokus Laras. Ia meliriknya dan segera memandangi dimana posisi sang anak dan si ayah.

"Udah ngantuk ya, Nak?" Bagas mengelus surai tipis anaknya. Melihat bayi itu mengusap-usap mukanya dengan tangan. Tanda ia mengantuk. Sesekali menguap lebar.

Laras segera mencuci tangannya. Melepas apron, dan mendekati sang bayi.

Ia mengambil bayi tersebut di atas pangkuan Bagas. Mengendongnya mesra dan tersenyum. "Waktunya tidur ya kesayangan, Mama."

Bagas tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. Ia memandangi dengan seksama kedua perempuan berharga di hidupnya ini. Mengenang perjuangan Laras melahirkan bayi perempuannya.

"Sudah jam 8 malam, Mas. Sebaiknya kamu pulang."

"Bolehkah aku menginap?" Bagas bediri saat mendapati Laras tak memandanginya sedikit pun saat berkata dingin tadi. Dadanya seketika hancur.

"Jangan berulah lagi. Dia juga butuh kamu."

"Tapi saya belum pernah tidur bersama putri saya, Laras."

Laras terdiam. Matanya terpejam menahan emosinya. Namun ia tak boleh lengah dan kalah dengan amarah yang terbakar. Laras pun memanggil asisten rumahnya dan meminta mengantar Bayinya ke kamar.

"Saya akan menyusul nanti ya, Mba."

Asisten rumah tangganya mengangguk dan segera berlalu. Sedangkan Laras diam sembari mengacak pinggang memandangi 'Mantan Suami' nya tersebut.

"Mau kamu apa lagi? Saya sudah mengizinkan Mas untuk melihat bayi ku sesuka hati. Apa lagi?"

Mata Laras berkilat-kilat. Bagas terdiam seribu bahasa.

"Jangan mengusik semua yang telah membaik, Mas. Kamu juga punya dia dan putra kecil mu. Dia juga butuh kamu."

"Laras.. Tolong.. Maafkan saya. Saya menyesal."

"Sudah berapa kali saya bilang, sudah terlambat. Jadi jangan lagi berharap apapun. Kita jalani saja seperti ini. Kamu pulanglah, Mas."

Seketika itu juga, tangisan si putri kecil mengema. Laras melirik lantai dua rumahnya dimana sang bayi berada. Ia kemudian memandangi Bagas dan berlalu begitu saja tanpa memperdulikan. Ia harus segera meyusui si kecil. Tidak perlu mengurusi seseorang yang gagal move on.

Semua kesalahan bertitik pada Bagas. Semuanya bermula dari dia. Tak sedikitpun Laras menerima penghianatan seperti itu. Ia tersakiti dan terluka. Seperti banyak perempuan lainnya, Laras tidak bisa memaafkan segala bentuk penghianatan dan alasan di baliknya. Ia begitu benci dengan hal itu. Jadi jangan salahkan dia ketika Bagas tak akan pernah kembali lagi padanya. Kapan pun itu.

Bagas mengikuti langkah Laras. Dan terdiam di depan pintu kamar yang baru saja tertutup oleh Laras. Ia menunduk, matanya memerah dan siap menumpahkan segala tangis sesalnya. Hatinya hancur. Ia begitu merasa benci dan marah pada diri sendiri.

Apa yang harus di banggakan olehnya lagi? Kekayaannya? Gedung-gedung tinggi miliknya? Kekuasaannya? Hartanya?

Tidak lagi.

Dulu mungkin ia sempat pongah dan sombong. Kemudian tergoda dengan perempuan yang jauh lebih cantik di bandingkan istri di rumah. Berselingkuh.

Ia kira semua akan berjalan baik seperti biasa. Memiliki kekasih yang cantik dan sexy. Dan memiliki istri yang lembut dan pemalu di rumah. Apalagi ia juga menginginkan seorang anak. Sedangkan Laras di fonis akan kesulitan hamil. Tentulah Bagas membenarkan insting kelelakiannya. Brengsek memang. Dan Bagas mengakui hal itu.

(One Shot) You & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang