6. Counting

79 27 9
                                    

Sedari tadi Vivian hanya diam mengikuti langkah senior yang ia ketahui bernama Kavin lewat name tag yang ia sempat baca tadi. Mereka berdua sudah berjalan cukup jauh meninggalkan aula pertemuan hingga akhirnya langkah Kavin berhenti di depan sebuah ruangan. Vivian tak begitu yakin ruang apa ini, ia hanya mengikuti Kavin melangkah memasuki ruangan tersebut.

Setelah memasuki ruangan tersebut, Vivian bisa melihat banyak sekali kardus-kardus yang bertumpuk disana, semua barang-barang disana tidak tertata dengan rapi, bahkan debu ada dimana-mana. Tempat apa ini?

"Ini adalah gudang, semua barang-barang yang di perlukan hazard seperti kertas, alat tulis, dan keperluan lainnya disimpan disini. Sedikit berdebu karena kami sibuk akhir-akhir ini jadi tak sempat untuk membersihkan tempat ini." Kavin menjelaskan dengan detail seolah mengerti apa yang sedang Vivian pikirkan saat ini. Vivian yang mendengar penjelasan itu hanya mengangguk paham.

Ruangan yang ber-cat serba putih itu terlihat cukup luas untuk seukuran gudang sekolah, bahkan gudang sekolah Vivian yang dulu tak seluas ini.

"Apa kau lihat plastik-plastik hitam yang disana?"

"Plastik besar itu?" Vivian menunjuk tumpukan plastik-plastik hitam yang cukup besar di sudut ruangan. Ia berjalan kesana kemudian membuka salah satu plastik yang rupanya berisi banyak kaos.

"Iya, bawa plastik-plastik itu ke aula. Mereka mungkin saja sudah kehabisan kaos untuk dibagikan."

Vivian mencoba mengangkat salah satu kantung plastik itu dan tubuhnya hampir limbung saat mengangkatnya.

"I-ini sepertinya cukup berat." Vivian tidak berbohong, plastik itu memang berat! Sebenarnya ada berapa kaos yang ada dalam satu plastik besar itu?

Kavin yang sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu melipat kedua tangannya didepan dada. Pria yang memakai kaos putih dan jas merah maroon itu terus memperhatikan Vivian sedari tadi.

"Aku juga tidak bilang itu ringan. Ini adalah hukuman mu, dan kau tidak berhak protes. Harusnya kau bersyukur aku hanya memberimu tugas untuk membawa kaos-kaos ini aula. Coba saja Alexa atau Dewan Hazard lainnya yang menghukum mu, mereka pasti akan memberimu tugas yang lebih berat dari ini."

Diam-diam Vivian menyetujui ucapan Kavin barusan. Vivian membayangkan jika saja yang menghukummya adalah dewan hazard seperti Alexa atau bahkan Lucifer maka sudah pasti hukuman yang ia dapat jauh lebih berat dari hukuman yang Kavin berikan.

"Sudah ya, aku sibuk. Masih banyak hal yang harus ku lakukan. Ingat, jangan sampai ada kaos yang tertinggal satu pun."

/Blamm/

Ingatkan Vivian bahwa ia masih memakai kemeja putih pendek dan rok hitam selutut. Bahkan tas ransel miliknya masih ia pakai sejak tadi.

Meletakkan tas ransel miliknya diatas meja yang ada disana, gadis itu mencoba untuk mengangkat satu kantung plastik dengan kedua tangannya.

"Astaga berat sekali..." Tak peduli seberapa keras usaha yang Vivian lakukan, kantung plastik itu masih terasa begitu berat.

Dengan kecerdasan yang dimilikinya, Vivian mengeluarkan beberapa kaos dari dalam sana. Setelah dirasa cukup ringan, ia pun membawa kantung plastik itu ke ruang pertemuan seorang diri.

Sementara itu kondisi di dalam aula menjadi tidak kondusif selepas kepergian Alexa dan teman-temannya. Hal ini dikarenakan oleh antusias anak laki-laki yang ada disana untuk berkenalan dengan ketujuh hazard perempuan. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan godaan terbaik mereka.

Salah satu dari ketujuh hazard perempuan disana tampaknya memiliki peminat paling banyak, dilihat dari banyaknya antrian didepannya yang rata-rata adalah laki-laki.

HAZARD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang